Bandung, Kamis, 24 Oktober 2025 | Permasalahan status kepemilikan kios di Pasar Induk Caringin, Bandung, memasuki babak panjang. Salah seorang warga berinisial JH menyampaikan kronologi dan perkembangan pengurusan kepemilikan atas sejumlah kios yang ia beli sejak akhir 2024 lalu. Dalam laporannya yang disusun sepanjang bulan Juni hingga Oktober 2025, JH mengungkap indikasi terjadinya kredit fiktif, penyimpangan administrasi, dan lemahnya koordinasi antar lembaga koperasi dan perbankan.
JH mengungkap bahwa pada 25 Desember 2024, ia membeli dua unit kios yang berada di Blok F.334 dan F.335 dari ahli waris pemilik sebelumnya, almarhum LS. Penjual mengaku memperoleh kios tersebut dari dua pihak berbeda — satu dari AY melalui istrinya, T, dan satu lagi dari W. Seluruh proses pembelian difasilitasi oleh seseorang berinisial ADS, yang disebut sebagai petugas koperasi dan juga pernah tercatat sebagai petugas di Unit Swamitra yang bermitra dengan KB Bank Bukopin.
Namun, belakangan diketahui bahwa uang pembelian kios tersebut tidak pernah diterima oleh pihak pemilik sah sebelumnya. Bahkan, tanda tangan pada dokumen jual beli terindikasi dipalsukan. Salah satu bukti dokumen, yaitu kuitansi tertanggal 27 Juli 2020, mencantumkan bahwa ADS menerima pembayaran sebesar Rp35 juta, namun pihak penerima hak menyatakan tidak pernah menerima uang tersebut.
Pada 13 Februari 2025, JH kembali membeli satu kios di Blok F.267 dari pemilik berinisial S, dengan diketahui dan disetujui oleh R, istri S. Belakangan, diketahui bahwa sertifikat kios tersebut berada di KB Bank Bukopin sebagai jaminan atas fasilitas kredit, yang oleh S sendiri tidak pernah diajukan atau diakui.
JH kemudian melayangkan permohonan informasi kepada KB Bank Bukopin pada 30 Januari 2025 untuk mengklarifikasi keberadaan sertifikat dan status pinjaman terkait tiga nama: S, AY, dan W. Dalam pertemuan pada 11 Februari 2025 di kantor Bank Bukopin, pihak bank menjelaskan bahwa sertifikat tersebut dititipkan oleh pengurus lama Koperasi Pasar Caringin sebagai pengganti utang koperasi kepada bank. Bank menyatakan tidak memiliki hubungan hukum langsung dengan para pemilik kios tersebut.
Namun demikian, nama ADS muncul dalam dokumen internal sebagai pihak yang menangani pinjaman—tercatat sebagai Account Officer dalam data pinjaman atas nama S. Hal ini memunculkan indikasi kuat adanya praktik kredit fiktif, apalagi S sendiri membantah pernah terlibat dalam proses peminjaman.
Untuk mencari kejelasan, JH juga menyurati dan berkoordinasi dengan Dinas Koperasi dan UKM Kota Bandung pada 4 Juni 2025. Tim pengawasan dari dinas tersebut—beranggotakan FN dan AN—telah dibentuk dan ditugaskan melakukan monitoring ke Koperasi Pasar Caringin. Namun, hingga pertengahan Oktober 2025, belum ada hasil resmi yang diumumkan kepada publik.
Dalam upaya yang paralel, JH juga menjalin komunikasi dengan pengurus koperasi. Pada 17 Juni 2025, ia mengirim surat kepada Ketua Koperasi Pasar Caringin dan mendapat informasi mencengangkan: sertifikat atas nama W ternyata masih berada di Bank Bukopin. Ini bertolak belakang dengan pernyataan tertulis bank yang sebelumnya menyatakan tidak memiliki dokumen tersebut.
Situasi diperkeruh dengan beredarnya pengumuman dari pihak Bank Bukopin yang menyatakan seluruh nasabah Koppas Swamitra Caringin tidak boleh melakukan pembayaran kepada petugas lapangan yang tidak memiliki identitas resmi. Pernyataan ini justru membingungkan, karena bertolak belakang dengan isi surat klarifikasi pihak bank yang sebelumnya menyatakan tidak memiliki hubungan kelembagaan dengan koperasi tersebut.
Dengan banyaknya pernyataan yang saling bertolak belakang, JH menilai proses yang dilakukannya secara administratif dan hukum telah menemui jalan buntu. Ia menekankan bahwa dokumentasi lengkap pembelian telah ia pegang, termasuk surat kuasa dari para penjual, namun hingga kini hak atas kios belum dapat ia kuasai secara penuh karena status sertifikat yang belum jelas.
JH menguraikan, sedikitnya ada enam poin yang perlu diklarifikasi:
- Keberadaan dan legalitas dokumen perjanjian kredit.
- Identitas debitur yang tercantum—apakah asli atau fiktif.
- Pihak penerima hasil pencairan kredit.
- Penanggung jawab penandatanganan akad kredit.
- Alasan pembiaran tunggakan pinjaman selama sekitar 24 tahun.
- Penelusuran internal oleh pihak koperasi maupun bank.
“Yang saya tuntut bukan sekadar hak atas kios yang telah saya beli, tapi juga transparansi dan keadilan. Saya menemukan informasi tumpang tindih, keterlambatan respon, bahkan indikasi pelanggaran yang telah lama dibiarkan,” ujar JH dalam keterangannya.
JH mengaku masih menunggu tanggapan resmi dari KB Bank Bukopin, Koperasi Pasar Caringin, dan Dinas Koperasi Kota Bandung. Ia juga membuka kemungkinan mengambil jalur hukum, termasuk laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga penegak hukum, apabila permasalahan ini tak kunjung diselesaikan secara profesional dan terbuka.
Polemik yang terus bergulir ini menjadi pengingat akan pentingnya tata kelola koperasi dan perbankan yang transparan dan akuntabel, terutama dalam skema kemitraan yang melibatkan masyarakat kecil, seperti pedagang pasar. Pemerintah daerah pun diharapkan ikut proaktif mendorong penyelesaian agar tidak semakin merugikan banyak pihak, baik secara hukum maupun sosial. (TIM)







































