Langkat — Perang terhadap narkoba di Sumatera Utara kembali menghadapi tantangan yang tidak main-main. Di tengah gencarnya seruan pemberantasan yang disuarakan Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara bersama Badan Narkotika Nasional Provinsi, justru muncul potret buram dari sebuah desa yang secara terang-terangan menjadi lokasi transaksi narkoba. Di Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, peredaran narkoba jenis sabu-sabu berlangsung secara terbuka, bahkan disebut telah berlangsung bertahun-tahun tanpa tersentuh aparat penegak hukum.
Hasil penelusuran awak media di lapangan menunjukkan adanya aktivitas mencurigakan di sebuah bangunan kecil mirip loket yang berdiri di atas jembatan penyeberangan, tidak jauh dari kawasan bekas kilang kayu atau sawmil yang kini tidak lagi beroperasi. Lokasi ini disebut-sebut sebagai pusat transaksi sabu-sabu yang diduga kuat dikendalikan oleh seorang bandar berinisial H, yang juga dikenal sebagai residivis kasus serupa.
Ironisnya, jarak antara loket tersebut dengan Pos Polisi Besitang yang berada di Desa Halaban hanya berkisar 500 meter. Lebih jauh lagi, lokasinya juga berada di kawasan perbatasan Sumatera Utara – Aceh, yakni hanya sekitar 800 meter dari pos perbatasan. Namun meski demikian dekat dengan titik-titik pengamanan resmi, aktivitas haram tersebut terus berlangsung tanpa hambatan berarti.
Seorang warga berinisial PM, yang dijumpai di lokasi, mengaku telah menyaksikan sepak terjang H selama lebih dari satu dekade terakhir. Ia menyebut bahwa beberapa kali aparat sempat melakukan penggerebekan terhadap anggota yang bekerja di bawah H. Namun, penggerebekan tersebut tidak membawa dampak signifikan karena esok harinya, operasional penjualan sabu kembali berjalan dengan mengandalkan orang-orang baru. “Seolah-olah mereka tidak takut, bahkan saya curiga kegiatan ini diketahui oleh pihak berwenang, tapi dibiarkan,” ujar PM.
Sikap apatis dan kekecewaan juga disuarakan oleh warga lain, termasuk seorang ibu rumah tangga berinisial LH. Ia mengaku kecewa dengan sikap aparat desa yang menurutnya seakan membiarkan aktivitas itu berkembang. Menurut LH, narkoba kini tidak hanya merusak warga lokal, tapi juga menjadi magnet bagi pembeli dari luar daerah, termasuk dari Provinsi Aceh. “Kami di sini seolah dikepung racun—anak-anak muda makin rusak, tapi yang berwenang diam saja,” katanya lirih.
Hal yang sama disampaikan oleh RH, warga lainnya yang menyebut H sebagai sosok yang seolah tak tersentuh hukum. Menurut pengakuannya, H memiliki aset di berbagai tempat, dan kendaraan mewah seperti mobil Toyota Fortuner menjadi pemandangan biasa di kawasan tersebut. “Kalau ada anak buahnya yang tertangkap, tinggal diganti saja. Jaringan tetap jalan. H aman-aman saja,” ujarnya dengan nada geram.
Berdasarkan informasi itu, tim investigasi media melakukan penelusuran langsung ke lokasi pada Rabu (29/10/2025). Dari hasil pengamatan, tim menemukan aktivitas mencurigakan yang sesuai dengan laporan warga. Terlihat adanya loket penjualan sederhana yang dijaga beberapa orang, di mana warga tampak hilir-mudik untuk membeli sabu. Tak jauh dari sana, berdiri sebuah pondok kecil yang digunakan konsumen untuk langsung menggunakan sabu yang dibelinya. Pondok tersebut hanya ditutupi dengan anyaman krey, dan di dalamnya ditemukan berbagai alat bukti seperti botol plastik yang telah dimodifikasi menjadi alat hisap (bong), korek api, serta plastik-plastik kecil yang diduga bekas kemasan sabu.
Kondisi di dalam pondok itu cukup menggambarkan situasi mengenaskan. Di lantai tanah berhamburan plastik putih bening, sementara suasana seolah tidak terpantau siapapun. Warga sekitar menyebutkan, pondok tersebut aktif hampir 24 jam, dan ramai dikunjungi pecandu dari berbagai wilayah.
Keterbukaan aktivitas ilegal semacam ini menimbulkan tanya besar di tengah masyarakat: sejauh mana sebenarnya kesungguhan aparat penegak hukum dalam menjalankan komitmen pemberantasan narkoba di wilayah Sumatera Utara? Sejumlah tokoh masyarakat mendesak agar aparat kepolisian segera bertindak tegas serta mengusut kemungkinan adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum-oknum yang seharusnya menjaga wilayah tersebut dari kejahatan narkotika.
Persoalan ini tidak hanya menyangkut penegakan hukum, tetapi juga menyentuh aspek moral dan kemanusiaan. Desa Halaban, dengan segala keterbukaannya terhadap praktik ilegal ini, mencerminkan ketimpangan antara narasi pemberantasan dan kenyataan di lapangan. Ketika narkoba bisa diperjualbelikan secara terang-terangan, hanya beberapa ratus meter dari pos keamanan, maka publik berhak bertanya: bernyali kah aparat penegak hukum melawan mafia narkoba? Ataukah mereka justru berdiri di barisan yang menutup mata? (TIM)







































