Oleh: Nuri Kasturi – Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fkultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Email: nurikasturi17@gmail.com No.Hp: 082210745933
Kita menjalani kehidupan di zaman yang serba cepat dan terkoneksi. Informasi kini dapat diperoleh hanya dalam hitungan detik melalui perangkat elektronik yang ada di tangan kita. Mesin pencari, ensiklopedia online, serta berbagai koleksi e-book pada perpustakaan digital seolah menawarkan sumber pengetahuan yang tak terbatas, kapan dan di mana pun kita berada.
Ini menimbulkan sebuah pertanyaan penting: dengan semakin masifnya pengaruh teknologi digital, apakah perpustakaan fisik masih layak dipertahankan?
Jika pandangan kita terhadap perpustakaan hanya sebatas tempat penyimpanan buku, jawaban yang akan muncul mungkin saja “tidak”. Karena teknologi digital memberikan kemudahan yang sangat menarik. Akses cepat ke jutaan informasi, kenyamanan mencari referensi tanpa harus berpindah tempat, serta kebebasan dari batasan ruang dan waktu adalah keunggulan yang sulit disaingi oleh perpustakaan konvensional. Logika sederhana seolah menyarankan bahwa perpustakaan hanyalah peninggalan zaman yang sudah waktunya ditinggalkan.
Namun, menyederhanakan perpustakaan hanya sebagai tumpukan buku adalah sebuah kesalahan besar. Pertama, perpustakaan berfungsi sebagai penjaga kesetaraan dalam akses informasi yang seringkali kita lupa bahwa kesenjangan digital masih nyata di masyarakat. Tidak semua orang memiliki perangkat yang memadai, sambungan internet yang stabil, atau kemampuan finansial untuk mengakses jurnal dan e-book berbayar. Di sinilah peran perpustakaan sebagai penyedia akses informasi berkualitas secara gratis untuk semua kalangan tanpa memandang latar belakang ekonomi sangat penting.
Kedua, perpustakaan menyediakan hal yang tidak bisa digantikan oleh internet, yakni kurasi informasi oleh manusia dan ruang yang kondusif. Di era dimana informasi palsu dan berlebihan mudah tersebar, kita membutuhkan lebih dari sekadar data dan kita perlu kemampuan memilah dan menilai kebenaran informasi. Peran pustakawan menjadi sangat krusial sebagai pemandu yang membantu masyarakat menemukan sumber terpercaya, membedakan fakta dari hoaks, dan mendukung proses pembelajaran secara efektif.
Selain itu, perpustakaan merupakan “ruang ketiga” yang berbeda dari rumah (ruang pertama) dan tempat kerja atau sekolah (ruang kedua). Perpustakaan adalah tempat publik yang bersifat netral, aman, dan tenang untuk membaca, belajar, merenung, atau sekadar berdiam. Dalam dunia maya yang seringkali gaduh dan individualistik, ruang fisik seperti ini menjadi sangat langka dan bernilai.
Tentunya, perpustakaan tidak dapat bersikap statis dan harus terus beradaptasi agar tetap relevan. Perpustakaan modern bukan sekadar tempat meminjam buku, tetapi telah berkembang menjadi pusat komunitas dan pembelajaran sepanjang hayat. Layanannya menggabungkan aspek fisik dan digital, menyediakan area kerja bersama, pelatihan literasi digital, akses database online, lokakarya keterampilan, serta menjadi fasilitator kegiatan komunitas lokal.
Akhirnya, hadirnya teknologi digital bukanlah ancaman yang harus menghancurkan keberadaan perpustakaan, melainkan peluang untuk bertransformasi. Esensi perpustakaan bukan hanya terletak pada media bacaan yang digunakan, melainkan juga pada tujuan membaca itu sendiri untuk memperoleh pencerahan, membangun hubungan, dan mendorong kemajuan peradaban.
Jadi, apakah perpustakaan masih diperlukan? Jawabannya adalah sangat perlu. Perpustakaan tetap dibutuhkan bukan sekadar sebagai gudang buku pasif, tetapi sebagai penjaga pemikiran yang dinamis dan inklusif. (*)







































