Medan – Upaya mencari keadilan atas kematian putri satu-satunya terus dilakukan Barita Sinaga, seorang pedagang telur asal Medan. Ia menggugat transparansi dan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani kasus pembunuhan yang menimpa anak perempuannya. Kejanggalan demi kejanggalan dalam proses penyidikan membuatnya mengirimkan surat pengaduan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Sumatera Utara, namun sejauh ini belum mendapatkan kejelasan.
Surat pengaduan tersebut dikirimkan pada 6 Januari 2025, dan diterima resmi oleh Bidpropam Polda Sumut pada hari yang sama. Dalam surat itu, Barita menekankan bahwa handphone milik korban yang diyakini menyimpan informasi penting terkait motif pembunuhan telah ditahan oleh penyidik pembantu dengan alasan akan diserahkan ke Kejaksaan. Namun hingga vonis dijatuhkan kepada pelaku, handphone tersebut tidak pernah menjadi bagian dari barang bukti yang diserahkan ke pihak Kejaksaan.
Menurut Barita, penyidik bahkan membuka paksa perangkat tersebut dengan membawa ke konter HP. Tindakan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada data penting yang bisa saja mengungkap motif sesungguhnya atau keberadaan pelaku lain yang terlibat dalam pembunuhan. Ironisnya, hingga berita ini ditulis, handphone tersebut masih belum diperiksa secara resmi di laboratorium forensik.
“Saya hanya ingin tahu mengapa barang bukti sepenting itu tidak dijadikan bagian dari proses hukum. Kalau memang tidak ada yang disembunyikan, mengapa HP itu tidak dibawa ke Kejaksaan?” ujar Barita Sinaga, saat ditemui pada Senin, 14 Juli 2025, di Medan.
Upaya untuk mencari kejelasan kembali dilakukan Barita Sinaga pada 25 Juni 2025, saat ia mendatangi kembali kantor Bidpropam Polda Sumut. Namun, jawaban yang diterimanya justru semakin mengecewakan. Seorang Polwan yang disebut sebagai KAURTRIMLAP Yanduan Bidpropam menyatakan bahwa surat pengaduan Barita hanya diarsipkan (di-file-kan) atas petunjuk pimpinan, tanpa ada tindak lanjut atau penyelidikan internal lebih lanjut.
Kasus ini tidak hanya menyita perhatian keluarga korban, tetapi juga mengundang reaksi dari masyarakat sipil. Salah satu pihak yang turut menyuarakan keprihatinannya adalah Steve Sihotang, aktivis dari kelompok Masyarakat Cinta Keadilan. Dalam pernyataan tertulisnya yang diterbitkan pada 14 Juli 2025, Steve mempertanyakan standar ganda dalam penanganan perkara di internal kepolisian, khususnya perbedaan respons antara kasus penyidik pembantu Bripka TA dan anggota Brimob An. A. Batee.
“Kenapa kasus anggota Brimob bisa lebih dulu disidangkan secara etik, padahal dilaporkan belakangan? Sementara kasus kematian anak Pak Barita yang jelas menyangkut nyawa manusia justru seperti diabaikan?” tegas Steve dalam rilisnya.
Menurut Steve, perbedaan respons tersebut mencerminkan adanya perlakuan khusus dalam tubuh kepolisian yang justru kontraproduktif terhadap semangat transparansi dan akuntabilitas. Ia juga menggarisbawahi bahwa pengaduan dari rakyat kecil tidak seharusnya dipandang sebelah mata.
“Apakah karena Pak Barita bukan pejabat? Hanya pedagang telur? Maka pengaduannya tidak dianggap penting?” tambahnya.
Dalam pernyataannya, Steve menyampaikan dua tuntutan utama kepada jajaran Polda Sumut:
-
Segera berikan kepastian hukum atas tidak profesionalnya proses penyidikan kematian almarhumah putri Barita Sinaga.
-
Selidiki penyebab surat pengaduan masyarakat yang diterima tanggal 6 Januari 2025 hanya diarsipkan tanpa tindak lanjut. Apakah ada oknum yang berkhianat kepada Kabidpropam?
Sejumlah pihak juga diminta untuk dipanggil dan diperiksa secara terbuka, bahkan jika perlu menggunakan alat deteksi kebohongan (poligraf). Pihak-pihak tersebut antara lain Kapolsek Medan Sunggal, Kanit Reskrim, mantan penyidik pembantu Bripka TA, serta sejumlah saksi.
Kasus ini menjadi cermin betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan masyarakat kecil. Keadilan seharusnya tidak memandang status sosial, ekonomi, atau profesi seseorang. Ketika nyawa sudah hilang, dan dugaan kelalaian atau manipulasi muncul, maka hukum harus hadir untuk menjawab, bukan membungkam.
Polda Sumatera Utara hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi atas permintaan klarifikasi dari pihak keluarga korban maupun pernyataan publik dari Masyarakat Cinta Keadilan. Namun publik menanti langkah konkret dari institusi hukum demi memastikan bahwa setiap pengaduan masyarakat tidak berhenti di meja arsip. (TIM)