KUTACANE | Proyek pembangunan Rumah Layak Huni (RLH) yang digagas melalui dana aspirasi anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Kabupaten Aceh Tenggara mulai menuai perhatian publik menyusul keluhan dari sejumlah penerima manfaat. Program yang semestinya menjadi upaya pemerintah provinsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah, justru menimbulkan polemik di lapangan, terutama terkait mutu bangunan dan dugaan adanya pungutan liar yang dibebankan kepada warga.
Salah satu penerima bantuan RLH berinisial JF, warga Kecamatan Lawe Alas, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap pelaksanaan proyek tersebut. Ia menyebut bahwa bantuan rumah yang diterimanya sangat berarti, namun sejumlah perlakuan dari pihak pelaksana di lapangan justru membuat dirinya dan penerima lainnya merasa dirugikan.
“Bukan kami tidak bersyukur, kami sangat berterima kasih atas bantuan ini. Tapi kami merasa dizalimi oleh pihak kontraktor yang justru membebani kami dengan kewajiban untuk menambah bahan bangunan. Ini sangat tidak pantas,” ujar JF, Senin (20/10).
JF mengungkapkan, selama proses pembangunan berlangsung, dirinya dan sejumlah warga lain merasa beberapa kali dimintai tambahan material bangunan seperti semen, batu, pasir, bahkan cat oleh pihak kontraktor. Padahal, menurutnya, seluruh komponen tersebut semestinya sudah menjadi bagian dari tanggung jawab penyedia proyek.
“Kalau memang ini bantuan, ya harusnya utuh dan tak membebani kami lagi. Tapi yang terjadi kami malah harus beli bahan lagi. Sedangkan kami sendiri penerima bantuan karena memang tidak mampu,” tambahnya.
Permasalahan semakin bertambah saat mutu fisik bangunan rumah bantuan yang diterima jauh dari standar kelayakan. Menurut JF, kondisi rumah yang baru saja selesai dibangun sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan ringan seperti retak di beberapa bagian dinding dan atap yang terpasang kurang kokoh.
“Kualitas rumahnya sangat mengecewakan. Tidak seperti yang kami bayangkan. Kalau anginnya kencang, bisa rusak. Belum lagi dinding sudah mulai retak, padahal baru beberapa minggu selesai dibangun,” katanya.
Warga pun meminta agar pihak terkait, terutama para legislator pengusung program dan instansi pemerintah yang terlibat, segera turun tangan melakukan pengecekan serta pengawasan langsung ke lapangan. Menurut mereka, program yang menggunakan dana publik tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa pengawasan, terlebih jika menyangkut hak masyarakat miskin akan tempat tinggal yang layak.
“Ini program pemerintah yang sangat bermanfaat. Tapi bisa rusak citranya gara-gara ulah oknum kontraktor yang menyalahgunakan anggaran dan membebani rakyat,” ucap JF lagi.
Program bantuan rumah layak huni yang dijalankan pada tahun 2025 di Kabupaten Aceh Tenggara ini diketahui menyasar hampir seluruh kecamatan di daerah tersebut. Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran sebesar Rp8,3 miliar dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) untuk merealisasikan proyek tersebut. Informasi ini tercatat di laman resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemerintah Aceh per 20 Oktober 2025.
Anggaran tersebut dialokasikan melalui mekanisme pokok pikiran (pokir) anggota DPRA dari Daerah Pemilihan (Dapil) VIII Aceh, sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di sektor perumahan. Namun demikian, seiring mencuatnya keluhan masyarakat, pelaksanaan teknis proyek dinilai memerlukan pengawasan yang lebih ketat.
Berbagai pihak kini menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek, agar bantuan seperti ini tidak disalahgunakan oleh oknum yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Masyarakat pun berharap agar Pemerintah Aceh serta lembaga pengawas segera menindaklanjuti laporan warga dan memastikan bahwa program tersebut benar-benar dijalankan sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi.
Tujuan utama dari proyek ini — yakni menyediakan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat kurang mampu — dinilai sangat mulia. Namun keberhasilan suatu program tidak hanya diukur dari alokasi anggarannya, tetapi juga dari dampak dan integritas pelaksanaannya di lapangan. Warga Aceh Tenggara kini menanti tindakan tegas dan langkah penyelamatan atas program tersebut, agar cita-cita mulia yang diusung tidak tercemar oleh praktik tak bertanggung jawab dari oknum pelaksana.