Pemadaman Listrik Simbol Pembangunan Tak Merata dan Bentuk Kekuasaan yang Bekerja dalam Diam

Waspada Indonesia

- Redaksi

Kamis, 2 Oktober 2025 - 22:27 WIB

50101 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Akademisi USK, Prof. Dr. TM. Jamil, M.Si

Effek Pemadaman listrik di Wilayah Aceh dilihat dari sudut pandang seorang akademisi dan pengamat politik Nasional.

BANDA ACEH- 02/10/2025. Sehubungan dengan padamnya listrik di hampir seluruh kawasan Aceh minggu ini, Prof. Dr. TM. Jamil, akademisi dan pengamat politik USK, memberikan tanggapannya, berkaitan dengan peran pemda setempat dan juga menurut perspektif politik kepada media ini ( Harian-RI ) . Beberapa pertanyaan diajukan. Berikut tanggapan Prof. TM, begitu biasa kami memanggilnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Apa peran Pemda Aceh Ketika Listrik Padam? “Pemadaman listrik yang sering terjadi di Aceh bukan hanya menjadi persoalan teknis dari penyedia layanan listrik, tetapi juga mencerminkan pentingnya peran aktif Pemerintah Daerah (Pemda) dalam melindungi kepentingan publik. Dalam persoalan ini, saya melihat bahwa Pemda Aceh seharusnya tidak bersikap pasif. Mereka dan perangkatnya harus menjadi perpanjangan suara masyarakat untuk mendesak pihak PLN agar memberikan penjelasan yang transparan, akurat, dan cepat ketika terjadi gangguan,” ucap Prof Jamil.

Selain itu, menurutnya, Pemda juga perlu memiliki rencana darurat dan langkah-langkah mitigasi yang jelas, terutama untuk sektor-sektor vital seperti rumah sakit, sekolah, serta layanan publik lainnya yang sangat bergantung pada listrik.

Misalnya, menyediakan genset di fasilitas penting, membentuk tim koordinasi cepat, dan menjalin komunikasi intensif dengan PLN Wilayah Aceh, agar persoalan ini tidak berlarut-larut. Kondisi ini jika dibiarkan tak baik untuk kehidupan rakyat yang semakin hari semakin susah dan menyedihkan.

Lanjut Prof. TM, Saya berharap “Pemda Aceh bisa lebih proaktif, tidak hanya menunggu laporan, tetapi juga melakukan pemantauan dan evaluasi berkala terhadap stabilitas pasokan listrik di wilayahnya. Kita butuh tata kelola energi yang berpihak pada masyarakat, serta sikap tanggap dari pemerintah daerah sebagai bentuk tanggung jawab atas kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

Baca Juga :  Kadinsos Aceh : Tolong Menolonglah Dalam Kebaikan

Menurut Prof. TM, ada apa dengan pemadam listrik, selain alasannya perbaikan instalasi, bagaimana dilihat dalam dimensi politik lokal?

“Pertanyaan ini menarik dan bisa ditinjau dari dua sudut utama: alasan teknis resmi (seperti yang sering dikatakan: perbaikan instalasi, gangguan jaringan, dll), dan dimensi politik lokal, sebagaimana yang mungkin dianalisis oleh Prof. TM (jika merujuk pada Prof. T.M. atau tokoh-tokoh akademik serupa dengan pendekatan kritis terhadap kekuasaan dan struktur sosial),” kata Prof. Jamil.

“Biasanya PLN atau otoritas terkait menyebut alasan seperti ; Perbaikan jaringan atau instalasi, Pemeliharaan berkala, Beban puncak yang melebihi kapasitas, Gangguan alam (petir, hujan lebat, dll), serta gangguan teknis mendadak,” lanjut dia.

Namun alasan ini, menurut Prof. TM, seringkali tidak transparan sepenuhnya, atau berulang tanpa perbaikan sistematis, yang menimbulkan kecurigaan dan membuka ruang untuk analisis politis.

Jika melihat dari kacamata seorang akademisi kritis seperti Prof. TM, pemadaman listrik bisa dilihat sebagai manifestasi dari relasi kuasa, pengabaian struktural, atau bahkan bentuk tekanan tidak langsung. Inilah Respon Prof. TM. Sebagai akademisi kritis tanggapan ini layak mendapatkan perhatian serius semua pihak.

Menurut Pak TM, ini akibat, Pertama : Ketimpangan Distribusi Infrastruktur.

Pemadaman listrik yang terjadi lebih sering di daerah-daerah tertentu (biasanya daerah miskin atau yang secara politik “tidak dianggao penting”) bisa mencerminkan ketimpangan distribusi sumber daya untuk warga negara sebagai pemilik suasa dalam pemilu.

Kondisi seperti Ini menunjukkan bagaimana negara dan aparat lokal lebih memprioritaskan pusat kekuasaan atau wilayah elite dibandingkan rakyat kebanyakan.

> “Pembangunan yang tak merata adalah bentuk kekuasaan yang bekerja dalam diam”, tegasnya Prof. TM.

Baca Juga :  Waduh, Suara Demokrat dan PKS untuk DPR RI Digelembungkan Puluhan Ribu Pada Rekap KIP Aceh Timur

Masalah lainya, Kedua : Politik Pengabaian (Politics of Neglect). Pemadaman berulang bisa menunjukkan bahwa daerah tertentu tidak dianggap penting secara politis, atau tidak memberikan manfaat elektoral.

Dalam hal ini, pemadaman bukan hanya soal teknis, tapi juga indikator dari siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan dalam kebijakan publik lokal. Siapa yang memberi apa dan mendapat apa. Sungguh ini tidak sehat dalam pelayanan publik.

Dan Ketiga, Alat Tekanan Politik Lokal. Dalam beberapa kasus, menurut pengamatan Prof. TM, “pemadaman bisa sengaja digunakan sebagai alat tekanan terhadap kelompok atau komunitas tertentu yang berseberangan secara politik dengan penguasa lokal”.

Misal, sebutnya, pemadaman terjadi di desa atau kecamatan yang mendukung oposisi saat ada acara penting, sementara daerah pro-pemerintah atau penguasa tetap menyala.

Selanjutnya, Keempat, Korupsi dan Ketidakefisienan. Politik lokal yang sarat korupsi bisa membuat anggaran perawatan listrik disalahgunakan, sehingga sistem kelistrikan mudah rusak dan padam, Prof. TM, mengingatkan

Dalam hal ini, pemadaman adalah gejala dari sistem yang dikorup dan tidak akuntabel, bukan sekadar masalah teknis.

Dan terakhir, Simbol Kegagalan Tata Kelola Pemerintahan. Bagi seorang pemikir seperti Prof. TM, pemadaman bukan sekadar gelapnya lampu, tapi juga simbol kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar warganya. “Listrik adalah kebutuhan dasar. Ketika negara tidak mampu menyediakannya, kepercayaan publik terkikis dan legitimasi lokal terganggu”, sebutnya dengan nada tinggi dan tegas.

“Jadi, pemadaman listrik dalam perspektif politik lokal dapat dicermati sebagai, Cerminan ketimpangan kekuasaan, Bentuk pengabaian struktural, Indikator dari politik patron-klien dan korupsi, dan Simbol dari kegagalan negara dalam merawat infrastruktur publik secara adil,” kata Prof. TM mengakhiri tanggapannya.

Berita Terkait

Penerimaan Bea Cukai Aceh Tumbuh 60 Persen, Bukti Kinerja Positif Triwulan III Tahun 2025
CV. AYBI Catat Sejarah Ekspor Perdana Komoditas Perikanan Melalui Sistem NLE di Bandara SIM
Dukung Pertumbuhan Industri Aceh, Bea Cukai dan Disperindag Mulai Sinkronisasi Layanan Ekspor-Impo
Video Pria Asal Aceh Diduga Hina Nabi Muhammad Viral, GP Ansor: Ini Cermin Krisis Moral dan Pemahaman Agama
Sinergi DJBC dan DJP, Bea Cukai Aceh Laksanakan PROKSI Bertema Digitalisasi Pelaporan Pajak Melalui Coretax
Bea Cukai Aceh Hadirkan Narasumber Inspiratif dalam Webinar UMKM Siap Go Global
Norazmi Bin Kamaruzaman DPSMAI Akan Gelar Pesta Kuliner Malaysia & Aceh
39.820 Batang Rokok Ilegal Disita, Bea Cukai Banda Aceh Tegaskan Komitmen Lindungi Penerimaan Negara

Berita Terkait

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 23:54 WIB

Sekda Aceh Tenggara Buka Dialog Konsultatif Akreditasi dan Penegerian Universitas Gunung Leuser

Jumat, 10 Oktober 2025 - 23:11 WIB

PWI Aceh Tenggara Dukung Penuh Pembangunan Infrastruktur Gagasan Forbes DPRA

Jumat, 10 Oktober 2025 - 22:20 WIB

Polres Aceh Tenggara Tangkap Tiga Pemuda Pengguna Sabu di Sekolah Dasar

Jumat, 10 Oktober 2025 - 22:02 WIB

Oknum Kepala Desa di Aceh Tenggara Ditahan dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana Desa Rp 476 Juta

Rabu, 8 Oktober 2025 - 23:51 WIB

Tanpa Ampun, LSM Tipikor Desak Kejari Usut Dugaan Penyelewengan Dana Kesehatan Aceh Tenggara

Selasa, 7 Oktober 2025 - 17:13 WIB

SMA Negeri 1 Tebing Tinggi Terbakar, DPRD Riau Dorong Percepatan Pembangunan Ulang

Selasa, 7 Oktober 2025 - 14:50 WIB

Pemerintah Aceh Tenggara Sosialisasikan Penguatan Koperasi Merah Putih Syariah sebagai Motor Ekonomi Desa

Minggu, 5 Oktober 2025 - 20:33 WIB

Ketua DPW Partai Aceh Kukuhkan Pengurus Kader, Targetkan Satu Fraksi di Pemilu Mendatang

Berita Terbaru