KURACANE, WASPADA INDONESIA | Proyek pembangunan tebing sungai yang menelan anggaran sebesar Rp6,9 miliar di Kabupaten Aceh Tenggara kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan kuat adanya pengurangan volume pada beberapa titik konstruksi bronjong. Proyek yang merupakan bagian dari upaya perlindungan area bantaran sungai ini, dikerjakan oleh CV Alfatir, dan kini mulai menuai kritik tajam dari sejumlah pihak, terutama dari Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Aceh Tenggara, yang sejak awal memantau pelaksanaannya secara ketat.
Kritik tajam disampaikan oleh Bupati LSM LIRA Aceh Tenggara, Fazriansyah, yang mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan indikasi kuat pengurangan volume pekerjaan, terutama di bagian pondasi serta pada segmen ketiga dan kelima dari bangunan bronjong yang memiliki sebelas tingkat segmen.
“Dari hasil penelitian serta pengawasan lapangan yang kami lakukan, kami menemukan dugaan pengurangan volume pada beberapa titik. Terutama pada segmen ketiga dan kelima serta bagian pondasi. Jumlah balok bronjong yang terpasang tidak sesuai dengan spesifikasi awal,” ujar Fazriansyah saat ditemui pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Fazriansyah menekankan bahwa pihaknya telah melakukan pengambilan dokumentasi secara berkala sepanjang proses pembangunan berlangsung. Dari dokumentasi tersebut, terlihat jelas adanya perbedaan mencolok pada jumlah balok bronjong yang terpasang — baik dari segi jumlah maupun posisi — dibandingkan dengan yang tertera dalam perencanaan teknis awal.
“Pembangunan balok bronjong yang seharusnya memiliki ketinggian hingga sebelas tingkat dengan delapan baris balok pondasi, ternyata pada medan-medan tertentu kami temukan jumlah yang lebih sedikit. Banyak titik koordinat yang diduga dikurangi jumlah baloknya ataupun tidak dipasang sesuai spesifikasi,” lanjut Fazriansyah.
Dijelaskannya, temuan tersebut muncul setelah dilakukan perbandingan antara tahapan awal pembangunan hingga progres-progres peningkatan pekerjaan di setiap segmen. Ia menyebutkan bahwa dokumentasi yang dimiliki LSM LIRA mencakup seluruh proses pekerjaan sejak dimulai hingga saat ini, dan menjadi bukti penting bahwa telah terjadi deviasi yang signifikan dari aspek volume.
“Selama pelaksanaan pembangunan ini, kami aktif melakukan pengawasan dari awal hingga mendekati tahap akhir. Dokumentasi visual kami lengkap, jadi bukan sekadar asumsi. Ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai bahan audit atau penyelidikan lebih lanjut,” tegasnya.
Lebih lanjut, LSM LIRA Aceh Tenggara mengingatkan bahwa proyek-proyek yang dibiayai oleh negara harus mengacu pada ketentuan teknis dan hukum yang berlaku, antara lain Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa setiap tahapan dalam pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga serah terima hasil pekerjaan, harus memenuhi asas transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi.
Tak hanya itu, pengurangan volume yang disengaja, apabila terbukti dilakukan untuk mengurangi biaya pengerjaan demi keuntungan pribadi ataupun kelompok, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dapat dipidana.
“Ini bukan hanya soal kualitas pembangunan, tapi sudah menyentuh ranah hukum apabila terbukti. Kalau volume pekerjaan dipangkas secara sistematis, itu sudah bukan kesalahan teknis, itu pelanggaran pidana,” ucap Fazriansyah.
Di sisi lain, informasi yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Wilayah Sumatera I menyebutkan bahwa hingga saat ini proyek tersebut belum dilakukan Provisional Hand Over (PHO). Salah satu kendala utama belum dilakukannya serah terima sementara ini adalah karena Panitia Pelaksana Kegiatan (PPK) proyek tersebut masih belum diganti setelah pejabat sebelumnya meninggal dunia.
“Belum dilakukan PHO karena PPK-nya yang terdahulu sudah meninggal dunia dan hingga kini belum ada pejabat pengganti,” ungkap Norman, salah satu pejabat di Ditjen SDA Sumatera I, saat dikonfirmasi pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis di lapangan, Norman mengaku tidak memiliki informasi mendetail. “Maaf, bukan pada bidang saya untuk menjelaskan teknis pekerjaan proyek tersebut,” ujarnya singkat.
Proyek pembangunan bronjong pengaman tebing ini semestinya menjadi solusi terhadap laju abrasi dan banjir di sekitar bantaran sungai yang mengancam pemukiman serta lahan pertanian masyarakat. Namun dengan munculnya dugaan pengurangan volume pekerjaan, bukan tidak mungkin risiko kerusakan akan terjadi lebih cepat dari seharusnya, bahkan bisa menyebabkan kerugian ganda jika tidak segera ditanggapi serius oleh instansi terkait.
LSM LIRA Aceh Tenggara berharap agar pihak berwenang, baik dari lembaga teknis pengerjaan proyek maupun dari aparat penegak hukum, turun tangan melakukan audit investigatif atas dugaan ini. Menurut Fazriansyah, pengawasan terhadap proyek yang menggunakan dana miliaran rupiah dari negara tidak boleh dilakukan setengah hati. Ia menyerukan adanya keterbukaan dan akuntabilitas dalam setiap detail proses pengadaan infrastruktur publik, utamanya yang menyangkut keselamatan masyarakat luas.
“Setiap rupiah dari dana rakyat harus digunakan dengan tanggung jawab. Kalau memang ada penyimpangan, maka harus ada yang bertanggung jawab,” kata Fazriansyah menutup pernyataannya.
Laporan : Salihan Beruh