BANDA ACEH : Kepala Perwakilan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Banda Aceh, H. Yuni Eko Hariyatna, atau dikenal sebagai Dato’ Embonk, menyoroti keras kinerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Aceh yang dinilai gagal memastikan kesiapan infrastruktur jalan dan jembatan pada saat banjir besar melanda sejumlah wilayah di Aceh.
Menurut YARA, kondisi jalan nasional yang rusak parah, jembatan yang terputus, serta akses utama yang tak kunjung diperbaiki secara memadai telah menyebabkan ribuan warga korban banjir terisolasi dan sangat terlambat menerima bantuan logistik.
“Akses Hilang, Logistik Tidak Sampai”
Dalam pernyataannya, Dato’ Embonk menilai BPJN Aceh lalai menjalankan fungsi dasar pemeliharaan infrastruktur vital. Ia menyebut sejumlah jalur penghubung utama—baik di pesisir, dataran tinggi, maupun pedalaman—seharusnya sudah diperkuat jauh sebelum puncak musim hujan tiba.
“Ketika jalan nasional dan jembatan yang menjadi urat nadi Aceh justru ambruk saat bencana, itu berarti ada kegagalan serius dalam perencanaan, pengawasan, dan pemeliharaan. Dampaknya langsung menimpa rakyat yang kini terjebak tanpa akses bantuan,” kata Dato’ Embonk dalam pernyataan tertulisnya.
YARA mencatat bahwa keterlambatan logistik bukan terjadi karena kurangnya bantuan, tetapi karena infrastruktur darat tak mampu berfungsi pada saat paling krusial. Kondisi ini, kata Dato’ Embonk, membuat jalur darurat harus mengandalkan perahu, helikopter, atau jalur memutar yang memakan waktu berjam-jam.
Kritik Terhadap Penanganan Darurat yang Bersifat “Tambal Sulam”
YARA juga menyoroti pola penanganan darurat BPJN Aceh yang dinilai hanya berupa langkah sementara: penimbunan jalan amblas, pemasangan jembatan darurat, serta pembersihan longsor tanpa adanya kepastian rehabilitasi permanen.
“Setiap tahun pola yang sama berulang. Jalan amblas, jembatan putus, BPJN turun membawa alat berat, tetapi solusi jangka panjang tidak pernah tuntas. Ini bukan sekadar bencana alam—ini bencana manajemen,” ujar Dato’ Embonk.
Menurut YARA, banyak ruas yang sudah lama masuk kategori rawan kerusakan tetapi tidak pernah diprioritaskan untuk perkuatan struktur, drainase permanen, atau rekonstruksi menyeluruh.
Ribuan Warga Terjebak — Pemerintah Diminta Lakukan Audit Menyeluruh
Situasi terputusnya akses darat menyebabkan sejumlah kecamatan terisolasi, terutama wilayah yang berada di antara jembatan penghubung utama. Bantuan beras, air bersih, obat-obatan, dan pos kesehatan bergerak sering tertahan berjam-jam karena alat berat lambat datang atau jalan tidak dapat lagi dilalui.
YARA menilai kondisi ini sebagai kegagalan sistemik BPJN Aceh dalam menjamin kesiapan infrastruktur strategis.
“Negara wajib hadir, bukan sekadar mengirimkan alat berat saat bencana terjadi. Yang dibutuhkan adalah infrastruktur yang kuat, bukan reaksi panik setelah kerusakan sudah menelan korban,” tegas Dato’ Embonk.
YARA Minta Evaluasi BPJN dan Transparansi Anggaran
Untuk mencegah krisis serupa berulang, YARA mendesak pemerintah pusat dan Kementerian PUPR mengambil langkah-langkah berikut:
1. Audit kinerja dan audit fisik seluruh proyek jalan dan jembatan nasional di Aceh.
2. Investigasi penggunaan anggaran pemeliharaan dan rehabilitasi.
3. Percepatan pembangunan ulang jembatan dan jalan prioritas dengan standar tahan banjir/longsor.
4. Transparansi progres penanganan infrastruktur ke masyarakat.
Dato’ Embonk menegaskan bahwa infrastruktur bukan sekadar proyek konstruksi, tetapi penentu hidup-matinya akses bantuan bagi warga di saat bencana.
“Ribuan warga menunggu bantuan. Tidak ada alasan bagi BPJN untuk gagal lagi. Jalan dan jembatan adalah urat nadi Aceh—ketika nadi terputus, rakyat yang pertama kali tersungkur,” tutupnya.(*)






































