SUBULUSSALAM – Perselisihan antara legislatif dengan eksekutif Kota Subulussalam beberapa bulan terakhir agaknya menjadi tontonan publik. Miris, tak dapat dielakkan jika situasi dan kondisi ini tak bisa tidak, pasti terkorelasi dengan masyarakat Kota Subulussalam secara umum.
Kilas balik pertikaian, nyaris terjadi sejak Wali dan Wakil Wali Kota, H. Affan Alfian Bintang, SE dan Drs. Salmaza, MAP atau populer dengan Pemerintahan Bintang – Salmaza (Bisa) dilantik pada, 14 Mei 2019 silam.
Persoalan defisit (terlepas pra Bisa), fakta keterlambatan atau mandek dibayar upah sejumlah tenaga honor, termasuk inisiatif Pemko melakukan pembatasan jumlah tenaga honor, kaitannya dengan masa kerja yang dibayar, bisa jadi bagian penyebab pertikaian itu.
Konkritnya, persoalan upah bahkan sejumlah hak-hak ASN, TPP/TC hingga honorarium para tenaga kesehatan, guru dan lainnya, tak kecuali untuk aparatur kampong atau desa meskipun telah ‘diakomodir’, nyaris tidak terealisasi secara utuh.
Berkali terjadi gerakan massa dari berbagai komponen yakni unjuk rasa atau demo memprotes soal tata kelola keuangan daerah. Kendati sejumlah anggota DPRK memediasi melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dam viral di berbagai media sosial, tak kecuali berita media, realisasi tuntutan itu nyaris berhenti sebatas tuntutan.
Alasan tetap klasik, karena defisit ditinggalkan pra Bisa, ditambah luka masa-masa Covid-19 sekira dua tahun Bisa memimpin.
Belakangan, pembayaran beasiswa Pemko yang selama ini berjalan normal, kini menyisakan persoalan. Belum bisa dibayar, lagi-lagi alasan defisit. Protes mahasiswa kepada pemerintah berimbas kepada Majelis Pendidikan Daerah (MPD) sehingga menambah catatan citra buruk daerah.
Kembali persoalan pertikaian, ketika informasi masa jabatan Bisa akan berakhir Desember 2023, spekulasi bermunculan. Bahkan, meski DPRK telah menyurati Menteri Dalam Negeri soal usulan tiga nama calon Penjabat (Pj) wali kota, hiruk pikuk juga terasa.
Gerakan kumpul tanda tangan warga melalui ‘tim’ tertentu agar satu dari tiga nama usulan itu diprioritaskan. Berakhir cerita,.karena program ini batal. Bisa masih akan melenggang hingga, Mei 2024.
Soal ‘konflik’ antarlegislatif dengan eksekutif, terkesan tak bisa rujuk. Bahkan hingga saat ini makin parah, karena justru konflik internal DPRK mencuat dengan mosi tidak percaya. Puluhan anggota DPRK melakukan gerakan mosi tidak percaya terhadap Ketua DPRK, nyaris menjadi tontonan memuakkan. Pasalnya, tetap saja masyarakat yang terimbas.
Soal konflik internal, di lingkungan eksekutif juga pernah jadi tontonan dan viral. Sikap protes wakil wali kota pada momen mutasi dan pelantikan sejumlah pejabat di pendopo wali kota mencengangkan banyak pihak.
Sang wakil naik ke podium, meminta salinan SK yang sedang dibacakan, lalu turun kembali dengan satu pesan ‘menyesalkan karena untuk menunjuk dan menentukan pejabat’ di sana, dirinya tidak dilibatkan.
Lalu, soal penetapan Sekretaris Daerah (Sekda) masih dalam teka-teki, padahal seleksi terbuka untuk Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Sekda sudah dilakukan di Banda Aceh, bahkan September 2023 hasilnya sudah diumumkan.
Ironis, pada sidang DPRA, anggota DPRA asal kota ini membeberkan jejak rekam satu dari tiga yang lulus dan sebut tidak pantas jadi Sekda. Namun yang bersangkutan justru dilantik oleh wali kota menjadi Sekda depenitif awal Januari 2024.
Kasus lain, saat mengukuhkan Pengurus Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Subulussalam periode 2023 – 2028, Rabu 27 Desember 2023 lalu sejumlah Kepala SKPK absen, wali kota menduga hal itu terjadi karena jabatan Bisa akan berakhir. Wali kota berjanji akan melakukan evaluasi pejabat terkait awal 2024, sebagai bentuk balasan rasa kecewa itu.
Pertikaian internal legislatif justru lebih memanas. Sebanyak 16 dari 20 anggota DPRK melakukan mosi tidak percaya terhadap Ketua DPRK, Ade Fadly Pranata Bintang, S.Ked dengan mengalaskan sejumlah daftar dosa sang ketua, 5 Januari 2024.
Gerakan ini tergolong ‘sukses’, terbukti pada Rapat Paripurna DPRK dalam Rangka Penyampaian Raqan tentang APBK TA 2024, 17 Januari 2024 dipimpin Wakil Ketua, Fajri Munthe, SE bukan Ade Fadly.
Makin memanas, melaui forum itu justru muncul desakan DPRK untuk melakukan hak interpelasi kepada wali kota. Gerakan ini bukan tanpa alasan, daftar dosa wali kota sudah dihimpun sejumlah anggota DPRK, meski Partai Hanura dengan empat kursi barangkali tidak melakukan hal serupa.
Kepastian dilakukan hak interpelasi sepertinya akan terjadi, meskipun jadwal pastinya belum diperoleh. Lima anggota DPRK menyampaikan resmi pandangan itu sehari pasca paripurna.
Ekses dari semua itu, ada konflik antardua lembaga itu terkait Proses Penetapan APBK tahun 2024 yang pembahasannya terhambat di Badan Anggaran (Banggar). Hal ini dipicu karena adanya tarik ulur antara Tim Anggaran Pemerintah Kota (TAPK) dengan Banggar DPRK.
Bahkan TAPK melakukan aksi walk out saat pembahasan awal R-APBK 2024, Kamis 18 Januari 2024 lalu dari ruang Banggar DPRK tersebut atas perintah Sekda, H. Sairun, SAg, M.Si.
Terjadi perbedaan persepsi, terkait pembahasan tidak kepada substansi sesuai jadwal. Penyebab lain, Sairun menilai rapat tidak berjalan sopan, tindakan melemparkan microphone oleh salah seorang anggota DPRK disesalkan.
Apapun pemicu pertikaian, konflik antar lembaga atau bahkan internal lembaga hingga instansi, muaranya adalah kepentingan masyarakat. Pertanyaannya, apakah patut pertikaian itu dipertahankan tanpa mempertimbangkan hal yang lebih penting, yakni masyarakat.[•]
sumber:waspada.id
s0mP∆r84|r