ACEH TENGGARA — Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Aceh Tenggara menyatakan kesiapannya menyerahkan bukti-bukti terkait dugaan kasus “tangkap lepas” seorang bandar narkoba berinisial AW, yang terjadi di kawasan Medan Johor, Sumatera Utara, pada Juli 2025 lalu. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Bupati LIRA Aceh Tenggara, Fazriansyah, di hadapan pejabat kepolisian dalam aksi demonstrasi yang digelar di depan Mapolres Aceh Tenggara, Selasa (28/10/2025).
Menurut Fazriansyah, pihaknya tidak hanya menerima informasi masyarakat, tapi juga telah mengantongi dokumen dan data yang dapat memperkuat dugaan bahwa telah terjadi praktik tangkap lepas terhadap seorang bandar narkoba. LIRA, lanjutnya, akan menyerahkan bukti tersebut jika penanganan oleh aparat penegak hukum menemui hambatan.
“Dugaan tangkap lepas bandar narkoba, bukti-bukti yang sudah kami miliki siap kami berikan jika memang penyelidikan mengalami hambatan,” ujar Fazriansyah dalam audiensi terbuka bersama Wakapolres Aceh Tenggara. Ia menegaskan bahwa LIRA mengambil sikap tegas bukan untuk menyerang institusi, melainkan demi mendukung penegakan hukum secara profesional dan akuntabel.
Fazriansyah juga menuturkan bahwa pihaknya sejak awal telah memberi ruang kepada Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Pengamanan Internal (Paminal) Polres Aceh Tenggara dan Polda Aceh untuk bekerja sesuai koridor hukum. Namun demikian, bila dalam prosesnya ditemukan hambatan atau potensi diredamnya kasus ini, LIRA akan mengambil langkah lanjutan dengan menyerahkan seluruh dokumen terkait kepada lembaga terkait di tingkat daerah maupun pusat.
“Kami tidak main-main. Ini sudah menjadi risiko bagi kami. Kasus tangkap lepas itu benar terjadi berdasarkan bukti yang kami miliki. Silakan cek ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan, Sumatera Utara. Kami harapkan Paminal Polres Agara dan Polda Aceh bekerja serius,” katanya dengan tegas.
Dalam unjuk rasa yang berlangsung tertib tersebut, LSM LIRA tidak sendiri. Mereka turut didampingi oleh Komunitas Relawan Keadilan (Korek), yang juga mengangkat aspirasi serupa. Kedua elemen sipil ini mendesak Kapolri dan Kapolda Aceh agar segera mencopot Kasat Narkoba Polres Aceh Tenggara, Iptu Yose Rizaldi, yang diduga terlibat dalam proses penangkapan dan pembebasan bandar narkoba berinisial AW.
“Bulan Juli lalu, Kasat Narkoba diduga menangkap lalu melepaskan bandar narkoba berinisial AW di Medan Johor, Sumatera Utara. Perilaku ini sangat memprihatinkan dan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan narkoba di Aceh Tenggara,” ungkap Fazriansyah dalam orasinya.
Dugaan ini muncul di tengah komitmen besar pemerintah pusat dan jajaran kepolisian dalam memberantas jaringan peredaran narkoba dari berbagai lini. Karenanya, dugaan penyalahgunaan wewenang dalam struktur Polres di tingkat daerah menjadi perhatian serius masyarakat sipil. Langkah LIRA dan Korek dinilai sebagai bentuk kontrol publik atas integritas lembaga penegak hukum, terutama pada unit-unit strategis seperti Satuan Reserse Narkoba.
Sementara itu, Wakapolres Aceh Tenggara Kompol Yasir yang menerima perwakilan massa aksi menyatakan bahwa sejauh ini penyelidikan terhadap dugaan tersebut masih berjalan. Menurutnya, tim gabungan dari Polres dan Polda Aceh sedang bekerja mengumpulkan informasi serta mencocokkan bukti yang ada.
“Tim dari Polda dan Polres sedang bekerja untuk membuktikan benar atau tidaknya dugaan itu. Kita tunggu saja hasil penyelidikan nanti,” ujar Kompol Yasir singkat.
Dalam suasana demonstrasi yang berlangsung damai, para aktivis juga menyampaikan sejumlah petisi kepada aparat, termasuk surat tuntutan pencopotan jabatan dan permintaan pembentukan tim pencari fakta dari internal Polri. Meski belum ada tanggapan resmi dari pimpinan kepolisian di tingkat provinsi, langkah awal aparat dalam membuka penyelidikan internal dianggap perlu diapresiasi publik sebagai bentuk transparansi.
Langkah LIRA dan Korek dinilai sebagai bagian penting dalam memperkuat prinsip akuntabilitas di tubuh Polri. Ketika integritas aparat dipertanyakan, masyarakat sipil berhak mengawal dan mendesak penyelesaian proses penegakan hukum secara jujur dan terbuka. Dengan cara ini, kepercayaan terhadap institusi bisa dipulihkan, dan praktik menyimpang — jika terbukti — bisa ditekan secara sistemik.
Laporan : Salihan Beruh







































