Lampung Timur,-Di balik formalitas rapat anggaran, praktik “bancakan” Pokok-pokok Pikiran (Pokir) diduga masih lestari. Sebuah kolaborasi senyap antara eksekutif dan legislatif yang mengubah aspirasi rakyat menjadi komoditas politik.
Aroma amis praktik lancung itu tercium dari balik gedung wakil rakyat. Apa yang di atas kertas tertulis rapi sebagai Pokok-pokok Pikiran (Pokir) dewan—sebuah mekanisme konstitusional untuk menampung aspirasi konstituen—di lapangan kerap bermetamorfosis menjadi arena perburuan rente. Di sinilah relasi antara eksekutif dan legislatif tak lagi berjalan dalam koridor check and balances, melainkan melebur dalam simbiosis mutualisme yang merugikan keuangan negara.
Hendra Apriyanes, pegiat isu-isu sosial politik, menyebut praktik ini sebagai sebuah “bancakan”. Istilah ini tidak berlebihan. Dalam temuannya, Anes menyoroti bagaimana aktor kepercayaan kepala daerah (bupati atau walikota) dan oknum anggota dewan bermain mata. Bukan sekadar meloloskan anggaran, melainkan turut serta menjadi pelaksana proyek, sebuah wilayah yang haram disentuh oleh fungsi legislasi.
“Untuk mengurai benang kusut ini, kita butuh pisau bedah yang tajam,” ujar Anes. Ia mengajukan tiga kerangka teori akademik—Power Cube, Analisis Jejaring Sosial (SNA), dan Dramaturgi—untuk membedah anatomi korupsi yang tersembunyi rapi di balik tumpukan dokumen APBD ini.
Panggung Dramaturgi dan Jejaring Simpul
Menurut Anes, apa yang dilihat publik sering kali hanyalah panggung depan (front stage). Mengutip teori Dramaturgi, ia menjelaskan bahwa walikota/bupati dan dewan secara sadar mengelola penampilan mereka demi menjaga legitimasi. Di ruang sidang paripurna, mereka tampak berdebat sengit demi rakyat. Namun, realitas sesungguhnya terjadi di panggung belakang (back stage).
“Di balik layar, mereka terlibat negosiasi yang menabrak etika. Proyek Pokir diperlakukan layaknya ‘barang dagangan’ politik,” kata Anes.
Analisis ini diperkuat dengan pendekatan Social Network Analysis (SNA). Dalam peta kekuasaan lokal, “orang kepercayaan” kepala daerah dan oknum legislatif bukan sekadar individu, melainkan simpul (node) kunci. Mereka menempati posisi sentral yang menghubungkan keinginan penguasa dengan eksekusi anggaran. Fokusnya bukan pada siapa mereka secara personal, melainkan bagaimana struktur hubungan itu memungkinkan agenda terselubung berjalan mulus tanpa hambatan birokrasi yang berarti.
Tiga Wajah Kekuasaan
Anes membedah dinamika ini lebih dalam menggunakan teori Powercube dari John Gaventa. Ia mengurai kekuasaan ke dalam tiga dimensi yang bekerja simultan untuk melanggengkan praktik bancakan ini.
Pertama, Kekuasaan Terlihat (Visible Power). Ini adalah wajah formal: rapat Musrenbang, pembahasan RAPBD, dan aturan resmi. Secara regulasi, Pokir sah. Namun, mekanisme pengawasan formal seperti BPK atau Ombudsman kerap kali tak mampu menembus tembok tebal kolusi ini.
Kedua, Kekuasaan Tersembunyi (Hidden Power). Inilah ranah “deal-making”. Agenda diatur jauh sebelum palu sidang diketuk. “Siapa dapat proyek apa, dan siapa pelaksananya, sering kali diputuskan dalam pertemuan tertutup atau meja makan, bukan di ruang rapat,” tegas Hendra. Di sinilah konflik kepentingan memuncak, fungsi pengawasan legislatif lumpuh karena sang pengawas merangkap sebagai pemain proyek.
Ketiga, dan yang paling berbahaya, Kekuasaan Tak Terlihat (Invisible Power). Ini beroperasi di alam bawah sadar. Ada normalisasi budaya bahwa “jatah proyek” adalah hak anggota dewan atau kompensasi politik balas jasa. “Masyarakat atau aparat internal dibuat merasa tidak berdaya, menganggap praktik ini lumrah. Konsensus diam-diam inilah yang memberi nafas panjang bagi korupsi,” tambah Anes.
Sinyal Kuning dari Kuningan
Situasi di daerah ini sejalan dengan kekhawatiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gedung Merah Putih di Kuningan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-2/2024 yang secara spesifik menyoroti penyalahgunaan Pokir. KPK mencium aroma bahwa Pokir kerap menjadi pintu masuk praktik transaksional dalam penyusunan APBD, melangkahi rambu-rambu Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 dan UU Nomor 23 Tahun 2014.
“Ketika oknum dewan menjadi pelaksana proyek, itu adalah manifestasi patronase yang melanggar prinsip dasar pemisahan kekuasaan,” ujar Anes. Alih-alih membawa manfaat, proyek tersebut hanya menjadi alat memperkaya lingkar kekuasaan.
Menanti “Operasi” Januari
Investigasi yang dilakukan Anes dan rekan-rekannya bukan sekadar wacana. Mereka telah mengumpulkan fakta lapangan dari satu kabupaten dan satu kota yang dijadikan sampel—data yang untuk sementara waktu masih disimpan rapat dari publik. Temuan ini diniatkan sebagai barometer kondisi pra dan pasca kegiatan besar yang tengah dirancang.
Anes mengungkapkan, sebuah agenda strategis dijadwalkan pada Januari 2026. Kegiatan ini akan melibatkan tiga lembaga penegak hukum sekaligus: KPK (Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat), Kejaksaan Agung (via Kejati Lampung), dan Kementerian Hukum.
“Seharusnya terlaksana September lalu, namun ada kendala teknis dan arahan dari Dit. Permas KPK untuk penyesuaian jadwal turun ke Lampung,” jelas Anes, yang memegang mandat sebagai ketua pelaksana dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung Timur. Ia menyarankan konfirmasi detail jadwal langsung kepada Ketua HIPMI Lampung Timur, Fitra Aditya Irsyam, yang menjalin komunikasi intens dengan pihak direktorat.
Hingga Januari tiba, lorong-lorong gelap di gedung dewan itu mungkin masih akan sibuk. Bukan oleh aspirasi rakyat yang mendesak, melainkan oleh bisik-bisik pembagian “kue” anggaran yang kian menyusut.
(Hayat)





































