KUTACANE | WASPADA INDONESIA – Anggota Komisi III DPR RI, H. Nasir Djamil, memberikan peringatan keras kepada Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah (MS) Kutacane agar tidak main-main dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang saat ini sedang disidangkan.
Dalam pernyataannya, Minggu (29/6/2025), Nasir Djamil menekankan pentingnya keadilan dan hukuman maksimal terhadap pelaku kejahatan seksual, khususnya yang melibatkan anak-anak sebagai korban.
“Saya peringatkan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah agar memberikan hukuman seberat-beratnya terhadap terdakwa. Karena korban mengalami trauma psikologis yang dapat terbawa hingga dewasa,” tegas politisi asal Aceh itu.
Menurutnya, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Aceh Tenggara menunjukkan tren peningkatan yang memprihatinkan. Dalam beberapa waktu terakhir, kasus rudapaksa oleh paman terhadap keponakan, hingga kakek terhadap cucunya, terus terungkap.
“Apalagi kasus ini menimpa anak-anak yatim bersaudara, yang jelas-jelas masih di bawah umur. Tidak ada alasan untuk meringankan pelaku,” tambahnya.
Nasir Djamil juga menegaskan bahwa kasus ini harus dijerat dengan tegas melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, khususnya Pasal 47 juncto Pasal 50 yang mengatur tentang Jarimah Pemerkosaan.
“Kami akan terus mengawal proses ini. Jika ada indikasi permainan dalam vonis, maka saya akan meminta Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Mahkamah Agung,” ujar Nasir dengan nada serius.
Kasus yang menyita perhatian publik ini bermula dari laporan polisi yang dibuat keluarga korban pada 4 November 2024, sebagaimana tercatat dalam LP/B/132/X/2024/SPKT/Polres Aceh Tenggara, Polda Aceh. Namun, hampir delapan bulan berlalu, vonis belum juga dijatuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah Kutacane.
“Iya, sampai sekarang belum ada kepastian hukum dari Mahkamah Syar’iyah Kutacane terkait kasus yang menimpa anak saya,” kata TA, ibu kandung korban saat diwawancarai, Kamis (26/6/2025).
Pihak keluarga korban menduga adanya ketidakberesan dalam proses hukum dan berharap aparat penegak hukum tidak melupakan rasa keadilan korban dan masyarakat.
Menanggapi polemik yang berkembang, Ketua Mahkamah Syar’iyah Kutacane, T. Swandi, saat dikonfirmasi Minggu malam (29/6/2025), menjelaskan bahwa keterlambatan proses persidangan disebabkan oleh terbatasnya jumlah hakim di pengadilan tersebut.
“Perkara ini memang ditangani oleh hakim tunggal karena keterbatasan personel di MS Kutacane. Perkara baru terdaftar secara resmi pada Maret 2025,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Swandi menyebutkan bahwa hakim yang sebelumnya menangani perkara ini telah dimutasi ke Mahkamah Syar’iyah Bireuen dan resmi dilantik pada 26 Juni 2025. Akibatnya, sidang pembacaan putusan yang dijadwalkan pada tanggal yang sama harus ditunda karena hakim tersebut tidak lagi memiliki wewenang.
Saat ini, perkara telah dialihkan ke hakim pengganti, Ibnu Mujahidin, untuk dilanjutkan sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Kasus ini memunculkan keprihatinan luas di tengah masyarakat Aceh Tenggara yang menilai bahwa kejahatan terhadap anak tak bisa ditoleransi. Komisi III DPR RI pun berjanji akan mengawal sampai tuntas agar keadilan benar-benar ditegakkan.
Nasir Djamil mengingatkan bahwa vonis ringan atau kesan lambannya penanganan hukum akan menjadi preseden buruk bagi penegakan syariat dan perlindungan anak di Aceh.
“Hukum harus jadi panglima. Kita tidak bisa kompromi terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak,” pungkasnya.
Laporan: Salihan Beruh
Editor: Redaksi Waspada Indonesia