PRINGSEWU, Jumat, 17 Oktober 2025 — Kebijakan Bupati Pringsewu, H. Riyanto dalam beberapa bulan terakhir menuai sorotan tajam dan memicu pertanyaan besar dari berbagai kalangan, mulai dari anggota legislatif hingga masyarakat sipil. Keputusan yang paling disoroti adalah penambahan Empat Tenaga Ahli baru, yang dianggap mencederai semangat efisiensi anggaran daerah yang kerap didengungkan. Anggaran publik seolah dihambur-hamburkan di atas panggung ironi fiskal.
*Pengangkatan Tenaga Ahli: Prioritas yang Dipertanyakan*
Di tengah tekanan untuk memangkas belanja rutin dan mengalihkan dana untuk program-program pro-rakyat, penambahan empat posisi Tenaga Ahli dianggap sebagai kontradiksi yang menusuk akal sehat dan pemborosan anggaran publik.
“Fungsi Tenaga Ahli memang penting, tetapi pertanyaannya, apakah urgensinya sampai harus menambah empat orang di saat kita sedang berjibaku dengan efisiensi anggaran? Ini jelas mengirimkan sinyal yang salah, sebuah orkestrasi prioritas yang sumbang, kepada publik tentang arah pemerintah daerah,” ujar Hayat, Ketua Aswin Pringsewu.
Tenaga Ahli atau Staf Khusus (nonstruktural) seringkali diangkat dari kalangan profesional di luar ASN (sipil/swasta) melalui mekanisme kontrak atau perjanjian kerja, berlandaskan keahlian spesifik yang dibutuhkan.
Namun, perlu dicatat bahwa beberapa waktu belakangan ada penekanan dan larangan dari pemerintah pusat (seperti dari BKN) untuk Kepala Daerah (termasuk Bupati) agar tidak lagi mengangkat Tenaga Ahli, Tim Pakar, atau Staf Khusus baru guna efisiensi anggaran dan penataan kepegawaian daerah.
Kritik ini semakin menguat mengingat besaran gaji dan tunjangan yang melekat pada jabatan Tenaga Ahli, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pemulihan ekonomi atau sektor kesehatan. Dana rakyat seolah tersedot ke pos-pos yang minim urgensi, menciptakan jurang antara janji dan realisasi.
*Jerat 20 Persen: Ketika Anggaran Publik Menjadi ‘Bancakan’*
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pringsewu di bawah kepemimpinan Bupati Riyanto Pamungkas kini tengah berada di bawah sorotan tajam publik. Bukan hanya soal efisiensi anggaran, melainkan dugaan praktik korupsi terstruktur yang mengancam integritas tata kelola pemerintahan daerah. Isu yang berembus kencang adalah adanya pungutan liar (fee) proyek dari setiap dinas yang angkanya disinyalir sangat fantastis, mencapai 20 persen dari nilai setiap pekerjaan.
Informasi yang dihimpun media ini mengindikasikan bahwa praktik “potongan wajib” ini telah menjadi rahasia umum di kalangan rekanan dan dinas.
Jika benar fee proyek dipatok hingga 20%, ini berarti seperlima dari setiap rupiah anggaran pembangunan yang seharusnya dinikmati masyarakat Pringsewu telah menguap ke kantong-kantong pribadi.
Dugaan pemborosan anggaran ini diperparah dengan pola yang terstruktur. Praktik ini bukan sekadar insidental, melainkan terorganisir rapi, seolah-olah menjadi biaya tak tertulis yang harus dipenuhi untuk memuluskan proses proyek.
“Data yang kami peroleh mengindikasikan bahwa praktik ini terstruktur,” ungkap sumber internal.
Skema ini menciptakan kekhawatiran serius bahwa proyek-proyek yang seharusnya berkualitas tinggi demi kepentingan publik justru menjadi sasaran empuk untuk “bancakan” oknum-oknum bermental korup.
Intensitas praktik ini semakin diperkuat dengan adanya keterlibatan oknum yang secara terang-terangan mengklaim sebagai “suruhan Bupati Pringsewu” dalam menjalankan aksi meminta dan menarik setoran dari setiap pekerjaan proyek.
Keberadaan oknum yang berlindung di balik nama pucuk pimpinan daerah ini menciptakan atmosfer ketakutan sekaligus tanda tanya besar: Seberapa jauh rantai praktik gelap ini merembet ke atas? Klaim oknum tersebut bukan hanya soal pungli biasa, tetapi sebuah indikasi dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang serius, di mana nama jabatan tertinggi digunakan sebagai legitimasi untuk merampok uang rakyat.
Jika klaim oknum suruhan ini benar, maka ini adalah alarm bahaya bagi komitmen pemberantasan korupsi yang sering digaungkan. Masyarakat berhak mempertanyakan, apakah kebijakan yang dikeluarkan hanya kosmetik belaka untuk menutupi borok di bawah karpet?
“Kegagalan untuk membersihkan praktik kotor ini akan meninggalkan warisan pahit bagi Pringsewu. Proyek pembangunan yang cacat moral, anggaran yang tergerus habis, dan hilangnya harapan publik terhadap pemerintahan yang bersih,” Tegas Hayat Ketua Aswin Pringsewu
*Dominasi Pejabat Luar Daerah: Mengabaikan Potensi Lokal*
Sorotan kritis lain tertuju pada kebijakan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPT Pratama). Meskipun banyak putra daerah yang memiliki rekam jejak, kompetensi, dan memenuhi syarat untuk menduduki posisi strategis, Bupati justru melangkah keluar, lebih memilih figur dari luar daerah.
Keputusan ini dinilai mencederai semangat meritokrasi, mengukir luka di hati para abdi negara lokal, dan mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) lokal.
“Kita punya banyak SDM berkualitas yang sudah lama mengabdi dan memahami betul seluk-beluk daerah. Namun, mereka seolah dianaktirikan. Jika alasannya profesionalitas, maka harus dibuktikan mengapa mereka yang dari luar dianggap lebih profesional daripada yang di dalam. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan menurunkan moralitas ASN lokal ke titik nadir,” tandas Hayat Ketua Aswin
Hingga berita ini diturunkan, Bupati Pringsewu dan pihak terkait belum memberikan keterangan resmi untuk menanggapi serangkaian isu dan kritik keras yang dialamatkan kepada pemerintahannya. Masyarakat menantikan transparansi dan pertanggungjawaban atas kebijakan yang dinilai kontradiktif dan menghadirkan awan gelap di atas tata kelola daerah ini.(RED)