MATARAM – Desakan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar segera mencopot Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Kapolda NTB) Irjen Pol Hadi Gunawan, terus menguat. Hal ini dipicu dugaan kriminalisasi terhadap salah satu aktivis di NTB sekaligus Presiden Jaringan Aktivis Nusa Tenggara Barat, yang dilaporkan oleh Kapolda NTB sendiri melalui Direktorat Siber Polri.
Laporan tersebut diduga bermula dari kritik publik yang disampaikan aktivis tersebut terkait dugaan keterlibatan pejabat kepolisian, dalam hal ini Kapolda NTB, terhadap proses penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di wilayah NTB. Kritik itu menyasar peran aktif Polda NTB yang dinilai tidak semestinya dalam ihwal perizinan, yang secara konstitusional menjadi kewenangan pemerintah daerah dan instansi teknis terkait, bukan aparat penegak hukum.
Terkait laporan tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pengamat hukum mempertanyakan dasar hukum tindakan Kapolda NTB dan menilai bahwa upaya pelaporan melalui pasal-pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengandung persoalan serius. Terlebih, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 105/PUU-XXII/2024 secara tegas menyatakan bahwa ketentuan mengenai pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak berlaku bagi badan hukum, pejabat publik, institusi negara, lembaga, maupun korporasi.
Dalam putusan tersebut, disebutkan pula bahwa delik pencemaran nama baik dalam ruang digital hanya dapat dilakukan oleh perseorangan yang merasa dirugikan secara langsung sebagai individu, bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik atau jabatan struktural.
“Pelaporan oleh Kapolda NTB terhadap seorang aktivis merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum. Tindakan ini bukan hanya cacat secara formil dan materiil, tetapi juga mencederai semangat demokrasi dan ruang kebebasan berpendapat,” ujar salah satu perwakilan jaringan aktivis dalam keterangan tertulisnya di Mataram, Selasa (28/10/2025).
Para aktivis menilai, keterlibatan Polda NTB dalam proses izin pertambangan rakyat juga patut dipertanyakan. Dugaan bahwa institusi kepolisian, khususnya Kapolda, mendesak pihak pemerintah daerah untuk menerbitkan IPR dianggap telah melampaui kewenangannya. Tidak terdapat ketentuan dalam perundang-undangan yang memberikan ruang bagi aparat kepolisian untuk menjadi fasilitator maupun inisiator dalam urusan penyelenggaraan tata kelola sumber daya alam, terlebih dalam bentuk izin pertambangan.
“Jika benar Kapolda NTB mengambil peran aktif dalam urusan pertambangan rakyat dan menggunakan posisinya untuk mendesak pemerintah daerah, maka hal ini merupakan bentuk intervensi yang keluar dari tugas pokok dan fungsi kepolisian sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” lanjut pernyataan tersebut.
Mereka juga menambahkan bahwa tindakan melaporkan kritik publik yang ditujukan kepada pejabat publik dengan menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE sangat potensial dimaknai sebagai bentuk intimidasi dan upaya membungkam hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, termasuk hak untuk menyampaikan pendapat, melakukan pengawasan, dan memberikan masukan terhadap kinerja pejabat negara.
Para pihak yang menyampaikan desakan pencopotan menilai bahwa sikap Irjen Pol Hadi Gunawan telah mencederai prinsip profesionalisme dan netralitas Polri sebagai alat negara yang semestinya tunduk pada hukum, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok.
“Oleh karena itu, kami menyerukan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk secara serius menindaklanjuti permasalahan ini. Tidak hanya dengan mengevaluasi, tetapi mengambil langkah konkret dalam bentuk pencopotan Kapolda NTB dari jabatannya, sekaligus melakukan pemeriksaan internal terkait kedudukannya dalam persoalan IPR tersebut,” tegas pernyataan tersebut.
Lebih jauh, mereka juga meminta Presiden Republik Indonesia, H. Prabowo Subianto, untuk memberikan perhatian terhadap persoalan ini sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum, melindungi kebebasan sipil, dan mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan di lapangan oleh aparatur negara.
Menurut pandangan mereka, persoalan ini sudah memasuki kategori pelanggaran serius karena menyangkut integritas pejabat publik dan penegakan hukum. Apabila tindakan penyimpangan ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan sipil serta kredibilitas institusi kepolisian di mata publik.
“Penegakan hukum harus bebas dari bias kekuasaan dan kepentingan. Jika seorang aktivis dikriminalisasi karena menyampaikan kritik, maka demokrasi kita sedang dalam bahaya. Kami percaya bahwa Kapolri dan Presiden akan berpihak pada prinsip keadilan dan supremasi hukum,” tutup pernyataan itu.
Selain meminta pencopotan, mereka juga mendorong agar mekanisme etik dan disiplin internal Polri dijalankan secara terbuka, termasuk apabila ditemukan adanya pelanggaran hukum oleh aparat, untuk dapat ditindak secara pidana sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia.
Polemik dugaan kriminalisasi terhadap aktivis dalam urusan tambang rakyat di NTB ini diharapkan menjadi momentum reflektif bagi seluruh institusi penegak hukum agar bekerja dalam koridor hukum yang benar serta tidak menyalahgunakan kewenangan demi kepentingan yang bukan bagian dari tugas institusionalnya. (HM)







































