KUTACANE – Rasa cemas menyelimuti seorang nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) di Kutacane, Aceh Tenggara, setelah dana tabungannya sebesar Rp 92,2 juta raib secara misterius dari rekeningnya. Nasabah bernama Sukrianto tersebut menegaskan dirinya tidak pernah melakukan transaksi apa pun pada hari kejadian, sehingga memunculkan dugaan kuat adanya pembobolan rekening secara ilegal yang kini berbuntut pada perselisihan dengan pihak bank.
Peristiwa ini pertama kali disadari oleh Sukrianto pada Selasa, 7 Januari 2025, saat ia hendak melakukan transfer dana untuk keperluan saudaranya. Transaksi yang ia coba lakukan gagal dengan notifikasi saldo tidak mencukupi. Hal ini membuatnya terkejut, sebab ia meyakini saldo di rekeningnya masih lebih dari Rp 92 juta. Kepanikan mendorongnya untuk segera mendatangi kantor cabang BSI terdekat guna meminta kejelasan.
“Saya panik dan langsung ke BSI untuk meminta rekening koran. Setelah dicek, ternyata ada transaksi yang tidak wajar. Saya tidak pernah melakukannya,” tutur Sukrianto saat ditemui pada Jumat (14/11/2025).
Berdasarkan data rekening koran yang ia peroleh, terungkap adanya tiga kali transaksi penarikan dana dengan nominal fantastis dalam rentang waktu yang sangat singkat. Tercatat ada pendebitan sebesar Rp 73 juta, kemudian Rp 900 ribu, dan disusul Rp 18 juta. Seluruh transaksi tersebut terjadi hampir bersamaan, menguras total dana Rp 92,2 juta hanya dalam waktu sekitar satu menit dan hanya menyisakan saldo sekitar Rp 3 juta di rekeningnya.
“Saya terkejut, karena tidak pernah mentransfer uang pada waktu itu. Tiga transaksi itu terjadi begitu cepat,” ungkapnya seraya menunjukkan bukti cetak rekening koran yang menjadi dasar keluhannya.
Merasa dirugikan, Sukrianto mengaku telah berulang kali menyampaikan pengaduan resmi ke pihak BSI Cabang Kutacane. Namun, proses yang ia tempuh tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Setelah melalui serangkaian investigasi internal, pihak bank hanya menawarkan solusi kompensasi sebesar separuh dari total kerugian yang ia derita. Keputusan ini sontak membuatnya kecewa berat, karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun dan tidak pernah memberikan data pribadi, PIN, maupun OTP kepada pihak ketiga.
Kekecewaan Sukrianto semakin mendalam ketika pihak bank justru seolah-olah menyalahkannya atas insiden tersebut. Menurutnya, bank mengaitkan kejadian itu dengan dugaan bahwa ia telah mengunduh beberapa aplikasi dari Play Store yang dinilai berisiko dan berpotensi memicu terjadinya transaksi ilegal. Padahal, Sukrianto bersikukuh tidak pernah merasa memberikan akses apa pun yang dapat membobol rekeningnya.
“Sudah beberapa kali saya melapor, tapi tidak ada titik temu. Mereka bilang transaksinya valid, sehingga uang saya tidak bisa dikembalikan sepenuhnya,” kata dia dengan nada kecewa.
Karena merasa upayanya melalui jalur mediasi dengan pihak bank menemui jalan buntu, Sukrianto kini memantapkan niatnya untuk membawa permasalahan ini ke ranah hukum. Ia berencana melaporkan kasus yang menimpanya ke Kepolisian Resor Aceh Tenggara agar dapat diusut secara tuntas dan haknya sebagai nasabah dapat dipulihkan secara penuh.
“Benar, saya akan segera melaporkan kejadian ini ke Polres Aceh Tenggara,” tegasnya.
Upaya konfirmasi lebih lanjut pun menemui jalan buntu. Saat Sukrianto mendatangi kantor cabang BSI Kutacane bersama sejumlah awak media, pimpinan cabang yang berwenang memberikan keterangan resmi tidak dapat ditemui atau terkesan menghindar. Akibatnya, penjelasan dari sudut pandang BSI mengenai kasus ini belum dapat diperoleh hingga berita ini diturunkan.
Peristiwa yang menimpa Sukrianto ini tak pelak menimbulkan keresahan di kalangan nasabah lain. Mereka mulai mempertanyakan tingkat keamanan dana yang tersimpan di BSI, terlebih setelah mendengar pernyataan pihak bank yang menganggap transaksi mencurigakan tersebut sebagai transaksi yang sah dan tidak dapat diganti rugi secara penuh. Kasus ini menjadi pengingat krusial bagi industri perbankan akan pentingnya transparansi, kecepatan penanganan keluhan, dan jaminan keamanan dana masyarakat yang menjadi tiang utama kepercayaan publik.
Laporan: Salihan Beruh







































