Oleh: Wardatil Hayati (Pengamat Ibu & Generasi)
Mengamati kondisi generasi muda saat ini, kita sepakat bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja. Tingginya angka kenakalan remaja, pergaulan bebas, bullying, LGBT, jauh dari akhlak yang baik, kurangnya adab, dan masih banyak masalah lainnya, rasanya cukup menjadi alasan pentingnya pembinaan mental.
Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) yang menggulirkan program pembinaan mental bagi pelajar, khususnya yang bermasalah. Tujuannya untuk membentuk karakter positif dilingkungan sekolah, rumah dan masyarakat serta mencegah perilaku menyimpang dan menekan potensi generasi muda dalam tindak kriminal di wilayah Ibu Kota Negara (IKN).
(https://kaltim.suara.com/read/2025/06/10/212339/bukan-hanya-fisik-mental-pelajar-ikn-dibangun-sejak-dini-di-ppu)
Langkah ini patut diapresiasi, tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa kerusakan moral terus terjadi meski pembinaan mental sering dilaksanakan?
Kerusakan generasi hari ini tidak semata-mata karena tidak adanya pembinaan mental, tetapi karena sistem pendidikan yang digunakan hari ini bersandar pada sekulerisme sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Seperti pelajaran agama hanya sebagai pelengkap, tidak menyatu dengan pelajaran umum. Walaupun diadakan pembinaan, artinya pembentukan karakter tersebut hanya dibahas pada waktu khusus saja, dibentuk pada jam-jam tertentu bukan satu kesatuan dari proses belajar mengajar. Jadi nampak hanya sebagai formalitas, sebatas ceramah motivasi tanpa pembinaan rutin dan pemantauan setiap saat. Akhirnya pembinaan yang terlaksana saat ini tidak menjadi ruh utama pendidikan.
Agar mendapatkan ruhnya, pembinaan harus menyentuh akidah, penuh kesadaran dan pemahaman hidup sebagai hamba Allah, agar tidak mudah rapuh dan terbawa arus, tidak mudah goyah apabila ujian datang. Karakter yang lahir bukan sekadar fokus pada ‘baik menurut masyarakat’ melainkan ‘baik menurut Allah’ seperti bukan hanya menjadi pribadi sopan tapi pacaran, ramah tapi menyontek, tetapi juga kesadaran hakiki akan tujuan hidup, halal-haram, dan tanggung jawab akhirat. Bukan hanya pintar tapi juga beriman dan beradab.
Hanya Islam yang mampu menyelamatkan generasi. Islam memiliki sistem pendidikan berbasis akidah. Dalam Islam, setiap anak dididik menjadi insan yang bertakwa, cerdas, berkepribadian Islam, dan faqih fiddin (paham agama).
Pembinaan seperti ini tak mungkin berhasil jika sistem yang menaunginya tidak mendukung. Pembinaan mental dan pembentukan karakter butuh sistem Islam dengan didukung oleh 3 pilar utama dalam Islam, yaitu keluarga, masyarakat dan negara.
Peran keluarga sebagai pondasi iman, menanamkan akidah sejak kecil dan membentuk kebiasaan adab dan ibadah.
Lalu peran masyarakat membentuk lingkungan yang mendukung kebaikan, lingkungan rumah dan sekolah saling menasihati dalam kebaikan.
Peran negara yang tidak akan membiarkan generasi tumbuh tanpa arah dengan menjaga sistem pendidikan sesuai dengan syariat dan mengawasi media pembelajaran serta mengontrol media sosial.
Hanya pendidikan Islam yang mampu menyelamatkan generasi.
Wallahu a’lam bish-shawab