ACEH TENGGARA , WASPADA INDONESIA — Dana Desa di Lawe Stul, Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara, tahun anggaran 2024 menjadi cermin bagaimana kebijakan nasional yang dirancang untuk menyejahterakan rakyat bisa berubah arah di tangan pelaksana desa. Dari total pagu Rp 752,266 juta, pencairan tercatat Rp 327,405 juta pada Maret dan Rp 424,860 juta pada Oktober. Angka-angka itu terlihat rapi, namun ketika dibedah lebih dalam, fakta menunjukkan belanja tidak tunduk pada aturan yang digariskan pusat.
Menurut Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2023 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2024, ada tiga poros utama yang wajib dijalankan: BLT Dana Desa minimal 10 persen hingga maksimal 25 persen dari pagu, program ketahanan pangan dan hewani sekurang-kurangnya 20 persen, serta penanganan stunting yang nyata dan terukur. Fakta di Lawe Stul menunjukkan BLT hanya Rp 32,4 juta atau 4,3 persen dari pagu, jauh di bawah batas minimal Rp 75,2 juta. Ketahanan pangan hanya disentuh lewat pengerasan jalan usaha tani Rp 84,4 juta, jauh di bawah ambang batas 20 persen yang seharusnya Rp 150,4 juta. Untuk stunting, hanya Rp 3,52 juta yang dialokasikan, jumlah yang lebih mirip formalitas daripada keseriusan kebijakan.
Ironisnya, alokasi justru membengkak pada pos-pos yang tak menjadi prioritas nasional. Dana desa dipakai untuk dukungan seremonial, atribut Linmas, hingga pakaian dinas. Operasional pemerintah desa dipecah-pecah: koordinasi, ATK, listrik, honorarium, seremonial, kerawanan sosial. Totalnya menembus Rp 33 juta, padahal regulasi PMK 146/PMK.07/2023 Pasal 32 membatasi uang persediaan dan operasional maksimal 3 persen dari pagu, hanya Rp 22,5 juta. Lawe Stul melampaui batas itu lebih dari Rp 10 juta, sebuah pelanggaran terang-benderang yang tak bisa ditutupi laporan resmi.
Kecurigaan semakin menguat karena muncul kegiatan ganda. Fasilitas jamban umum dianggarkan dua kali dengan nilai berbeda, Rp 23,9 juta dan Rp 79,7 juta. Profil desa pun dianggarkan dua kali, Rp 3,5 juta dan Rp 5 juta. Regulasi pusat jelas menyebutkan setiap kegiatan harus berbasis kebutuhan nyata dan tidak boleh duplikasi anggaran. Pola pemecahan pos ini membuka ruang mark-up dan manipulasi, sebuah celah klasik yang merugikan rakyat.
Semua ini membentuk pola: regulasi nasional yang mestinya mengarahkan dana desa menjadi alat pengentasan kemiskinan justru diselewengkan. BLT yang seharusnya menyelamatkan rakyat miskin dipangkas. Ketahanan pangan yang menjadi benteng krisis digarap setengah hati. Stunting, ancaman nyata bagi generasi masa depan, diperlakukan sebagai catatan kaki. Sebaliknya, seremonial, atribut, dan operasional aparatur justru disuburkan.
Upaya klarifikasi menemui jalan buntu. Kepala Desa Lawe Stul saat dihubungi melalui WhatsApp pada Rabu, 20 Agustus 2025, tidak memberikan respons terkait pengelolaan dana desa. Ketidakterbukaan ini menegaskan urgensi pengawasan ketat dari aparat penegak hukum dan lembaga pengawas anggaran.
Regulasi negara tidak dibuat untuk dipajang; ia hadir sebagai pengikat agar uang negara benar-benar sampai ke rakyat. Namun di Lawe Stul, dana desa disulap menjadi arena kepentingan birokrasi. Angka-angka dilaporkan, spanduk dipasang, tetapi perut rakyat tetap kosong dan anak-anak desa tetap kurus. Ini adalah pengkhianatan terhadap roh Permendesa 13/2023 dan PMK 146/2023—roh yang sejatinya dirancang untuk melindungi rakyat miskin dari kelaparan dan kebodohan.
Publik kini hanya bisa bertanya: bila dana desa terus diperlakukan seperti ini, untuk siapa sebenarnya negara hadir? Untuk rakyat kecil, atau untuk segelintir yang mahir memelintir aturan?
Laporan Salihan Beruh