ACEH TENGGARA– Ribuan rakyat di kaki Pegunungan Leuser tidak butuh doa dari jauh, mereka butuh komando. Forum Komunikasi Masyarakat Leuser (FKML) secara terbuka melayangkan desakan keras agar Presiden Prabowo Subianto segera angkat kaki dari kenyamanan Istana Negara untuk sementara waktu dan berkantor di Aceh atau Medan.
Ini bukan sekadar permintaan, melainkan ultimatum kemanusiaan di tengah kepungan banjir bandang yang telah melumat sendi-sendi peradaban di Aceh Tenggara dan sekitarnya.
Menantang Nyali Sang Panglima Tertinggi
Ketua FKML, Burhan Alpin, menegaskan bahwa bencana yang melanda sejak akhir November 2025 ini telah memasuki fase Darurat Peradaban. Baginya, penanganan yang hanya mengandalkan laporan administratif dari bawah adalah bentuk pengabaian sistematis.
“Jangan jadikan Aceh hanya sebagai lumbung suara saat Pemilu, lalu ditinggalkan sendirian saat tertimbun lumpur! Kami menantang Presiden Prabowo untuk memimpin langsung dari garis depan. Rakyat butuh panglima yang mencium bau tanah dan penderitaan mereka, bukan sekadar menteri yang datang untuk foto seremonial lalu pulang,” tegas Burhan dengan nada mengguncang, Selasa (16/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memutus Rantai Birokrasi yang “Membunuh”
FKML menilai, pendekatan birokrasi yang kaku saat ini justru menjadi penghambat utama pemulihan. Bantuan yang tersendat, akses jalan yang masih terputus, hingga ancaman kelaparan di wilayah terisolasi adalah bukti nyata bahwa koordinasi dari jarak jauh telah gagal.
Desakan agar Presiden berkantor di lokasi bencana bertujuan untuk:
Memotong ‘Urat Nadi’ Birokrasi: Keputusan darurat untuk logistik dan infrastruktur harus lahir di meja Presiden di lokasi, bukan melalui surat-menyurat antar-kantor kementerian yang memakan waktu berhari-hari.
Kehadiran Negara yang Nyata: Menunjukkan bahwa nyawa rakyat di pelosok Leuser sama berharganya dengan nyawa warga di ibu kota.
Audit Ekosistem Secara Langsung: Presiden harus melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kerusakan hutan di Leuser
berdampak fatal, agar ada kebijakan radikal untuk perlindungan lingkungan ke depan.
Bukan Pencitraan, Tapi Penyelamatan
”Ini bukan soal politik pencitraan, ini soal hidup dan mati. Jika negara hadir hanya saat upacara, maka rakyat Leuser akan terus menjadi tumbal alam,” tambah Burhan.
FKML juga menuntut agar Wakil Presiden, Kepala BNPB, dan jajaran menteri teknis ikut standby di titik krisis. Mereka diingatkan bahwa Leuser adalah benteng terakhir pertahanan ekologis Sumatera. Jika benteng ini runtuh karena penanganan yang setengah hati, maka sejarah akan mencatat pemerintahan ini telah gagal menjaga kedaulatan kemanusiaan di tanah Aceh.
Kini, pertanyaannya sederhana: Apakah Jakarta punya cukup nyali untuk turun ke lumpur.
( Aliasa).







































