Ogan Ilir – Di tengah gembar-gembor narasi “pemerintahan peduli rakyat miskin”, kenyataan di lapangan justru menunjukkan betapa birokrasi di daerah ini semakin jauh dari kata manusiawi. Warga yang membutuhkan bantuan mendesak dari sebuah instansi berbasis keagamaan, yang selama ini mengaku sebagai lembaga peduli kaum dhuafa, justru dipersulit dengan syarat yang tak masuk akal: proposal hanya bisa diterima jika sudah “diparat” atau disahkan oleh Bupati terlebih dahulu.
Lebih ironis lagi, alasan yang diberikan instansi tersebut sungguh memalukan untuk didengar oleh publik. Mereka mengaku takut dimarahi Bupati bila menerima proposal dari rakyat tanpa persetujuan sang kepala daerah. Akibatnya, rakyat jelata yang sedang terdesak justru dipaksa melalui jalur berliku yang bahkan untuk menemui RT saja mereka sering merasa takut, apalagi harus menghadap Bupati bak menghadap “raja” di era kerajaan.
Wajar jika ribuan warga Ogan Ilir akhirnya sulit mendapatkan bantuan. Sebab mekanisme yang dipaksakan ini bukan hanya tidak logis, tapi juga tidak manusiawi. Menghadap Bupati bukan perkara sederhana: waktu habis, biaya terkuras, mondar-mandir tak jelas hasil, dan peluang bertemu pun kecil. Bahkan orang yang punya nama, jabatan, atau pangkat pun belum tentu bisa langsung bertemu. Apalagi rakyat biasa.
Jika begini model birokrasi di NKRI, jangan pernah mimpi rakyat bisa sejahtera. Bukan karena mereka malas atau tidak berusaha, tetapi karena sistemnya memang dibuat berbelit hingga rakyat kecil selalu jadi korban ketidakadilan. Selalu kalah sebelum berperang. Selalu ditutup pintu sebelum mengetuk.
Ironisnya, rakyat yang hari ini dipersulit, nanti akan kembali “dicari” dan “diiming-imingi” saat musim pemilu tiba. Siklus yang memuakkan, tapi terus saja berulang.
Sudah saatnya pemerintah daerah, khususnya Ogan Ilir, mengakhiri pola birokrasi feodal yang menjadikan pemimpin bak raja dan rakyat sebagai pengemis. Bantuan mendesak adalah hak warga negara, bukan hadiah dari penguasa. Dan setiap instansi pelayanan publik wajib melayani, bukan menakut-nakuti.
Jika birokrasi dibiarkan semakin gila, maka kesejahteraan rakyat akan terus tinggal sebagai mimpi. Dan NKRI hanya akan berjalan di tempat, menunggu keberanian rakyat untuk berkata: cukup sudah. Tim pewarta







































