Singkil – Sengketa soal empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat ke permukaan. Namun sebelum kontroversi ini dibelokkan ke ranah opini atau politisasi, masyarakat perlu kembali membuka lembaran sejarah: pada tahun 1992 telah diteken sebuah Surat Kesepakatan Resmi antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, untuk menyelesaikan konflik batas wilayah secara damai dan final.
Konflik ini bermula pada rentang tahun 1990 hingga 1992, ketika terjadi ketegangan antara dua provinsi bertetangga terkait klaim atas empat pulau strategis di perairan Singkil, yaitu Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan. Perselisihan ini sempat menimbulkan ketidakstabilan di wilayah perbatasan, termasuk sengketa soal hak penangkapan ikan, pengelolaan potensi pariwisata, dan kontrol sumber daya laut lainnya.
Melihat eskalasi yang terjadi, Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini, turun tangan sebagai mediator. Hasilnya, pada tahun 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut menandatangani sebuah kesepakatan resmi yang tidak hanya meredam konflik kala itu, tetapi juga mengikat secara administratif dan hukum hingga hari ini.
Kesepakatan itu memuat beberapa butir penting. Pertama, dinyatakan secara tegas bahwa keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Kedua, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan ataupun mengeluarkan izin usaha atas wilayah tersebut. Ketiga, pengelolaan sumber daya laut dan potensi ekonomi yang ada menjadi hak penuh Aceh, sementara kerja sama teknis seperti konservasi lintas batas masih bisa dibahas secara bersama-sama. Kesepakatan ini disahkan di Jakarta dan disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini, yang menegaskan bahwa perjanjian ini bersifat final dan mengikat.
Secara hukum, kesepakatan ini tetap memiliki kekuatan hingga kini. Pasal 246 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan bahwa batas wilayah Aceh mengacu pada ketetapan dan peraturan sebelumnya, termasuk kesepakatan 1992 tersebut. Tak hanya itu, Mahkamah Agung RI juga telah menguatkannya lewat Putusan No. 01.P/HUM/2013 yang menolak gugatan Sumatera Utara terhadap pengakuan wilayah atas pulau-pulau tersebut. Arsip nasional dari Kementerian Dalam Negeri turut mencatat kesepakatan 1992 sebagai dokumen sah penyelesaian sengketa batas wilayah.
Namun yang mengejutkan, di era pemerintahan sekarang, klaim Sumut kembali mengemuka. Beberapa pejabat, termasuk Wali Kota Medan Bobby Nasution yang kini memiliki pengaruh politik besar di Sumut, mencoba membuka ulang wacana penguasaan atas empat pulau itu. Alasannya tidak jauh dari aspek ekonomi—kekayaan hasil laut, potensi pariwisata bahari, dan kemungkinan ladang migas yang tersembunyi di perairan sekitarnya. Belum lagi dukungan dari pihak-pihak pengusaha yang disebut ingin menanamkan investasi.
Selain itu, ada dugaan kuat bahwa klaim ulang ini turut dilandasi motif politik identitas dan ekspansi pengaruh Sumatera Utara. Namun semua itu tidak mengubah fakta bahwa Aceh masih dan tetap memiliki dasar hukum serta historis yang sah atas wilayah tersebut. Aceh secara konsisten menolak klaim ulang ini, dan sikap mereka jelas: kesepakatan 1992 masih berlaku, UU Pemerintahan Aceh mendukung, dan putusan Mahkamah Agung berpihak pada kebenaran sejarah.
Tak sedikit pihak menyindir upaya Sumut dengan anekdot, “Bobby bawa peta, tapi lupa baca arsip.” Sebuah sindiran tajam yang menyiratkan bahwa keinginan memperluas wilayah tidak bisa menggantikan kekuatan dokumen negara dan warisan hukum.
Pemerintah Aceh sendiri menyatakan bahwa mereka menghormati sejarah, hukum, dan janji nasional yang sudah diteken sejak lama. Bila Sumatera Utara masih memaksakan kehendak, bukan tidak mungkin Aceh akan membawa perkara ini ke level internasional, demi memastikan bahwa satu janji di masa damai tidak dihianati oleh ambisi kekuasaan masa kini.
Kesepakatan 1992 bukan sekadar selembar kertas tua. Ia adalah simbol perdamaian, keadilan wilayah, dan penghormatan terhadap proses penyelesaian konflik yang sah secara hukum. Aceh tidak akan membiarkan sejarah ini dihapus begitu saja. Kini semua pihak harus sadar: pelanggaran atas kesepakatan nasional bukan hanya mencederai Aceh, tapi juga merusak integritas pemerintahan Republik Indonesia sendiri. (Salihan Beruh)