Kutacane – Skala kerusakan dan dampak kemanusiaan yang ditimbulkan akibat banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Aceh dan Sumatera dinilai sudah memasuki kategori darurat. Untuk mempercepat penanganan, Forum Komunikasi Masyarakat Leuser (FKML) mendesak agar Presiden Prabowo Subianto berkantor sementara di Aceh atau Medan, sebagai bentuk kehadiran negara dalam situasi krisis.
Ketua FKML, Burhan Alpin, menyampaikan bahwa bencana yang terjadi pada akhir November 2025 tidak boleh ditangani secara normatif. Menurutnya, pendekatan birokratis dan seremonial justru akan menghambat proses pemulihan di lapangan, terutama dalam masa tanggap darurat yang membutuhkan respon cepat dan terkoordinasi.
“Presiden, Wakil Presiden, BNPB, dan jajaran kementerian terkait seharusnya standby di lokasi bencana. Ini menyangkut keselamatan manusia dan keberlangsungan peradaban di wilayah Leuser dan sekitarnya, bukan semata-mata politik pencitraan,” ujar Burhan Alpin, Selasa (16/12).
Ia menyebutkan bahwa faktor utama penyebab banjir bandang di Aceh dan wilayah Sumatera adalah degradasi lingkungan yang telah berlangsung dalam waktu lama. Kawasan Ekosistem Leuser, yang selama ini berstatus perlindungan, disebut mengalami kerusakan karena konversi hutan, lemahnya pengawasan, dan pembiaran terhadap penebangan liar maupun legal.
Burhan menambahkan, kecenderungan menyalahkan illegal logging dianggap kurang adil jika tidak dibarengi dengan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan perusahaan legal yang memiliki izin pengelolaan kawasan. Ia mempertanyakan peran dan tanggung jawab semua pihak terhadap kerusakan yang terus berlangsung di hulu sungai.
“Yang legal juga perlu ditanya, apa kontribusinya selama ini dalam menjaga hutan? Data menunjukkan sekitar 85 persen bencana alam berkaitan langsung dengan kerusakan lingkungan. Ini bukan sekadar soal debit hujan, tapi soal rusaknya sistem penahan air dari akar pohon di hulu,” tegasnya.
Burhan juga mengingatkan kembali tragedi banjir bandang di Bahorok, Bukit Lawang pada 2003, yang menurutnya memiliki pola penyebab yang sama seperti bencana akhir tahun ini. Kala itu, kayu-kayu besar hasil tebangan terbawa arus dan menghantam pemukiman warga serta kawasan wisata di Taman Nasional Gunung Leuser.
FKML, jelas Burhan, sudah sejak awal mengkritisi kebijakan pengelolaan kawasan Leuser sejak dipegang oleh Yayasan Leuser Internasional (YLI) melalui Unit Manajemen Leuser (UML) berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 1998. Menurutnya, kebijakan tersebut sarat masalah dan perlu segera dicabut.
“Sebelum tragedi Bahorok, kami telah mengajukan gugatan class action terhadap pemerintah pusat, termasuk kepada presiden kala itu, Menteri Kehutanan, UML, serta pihak asing yang diduga turut terlibat. Dugaan kami bahwa kerusakan akan memicu bencana sudah terbukti. Sekarang situasinya jauh lebih parah,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menaruh harap agar Pemerintah Pusat memiliki keberanian untuk menetapkan status Bencana Nasional, yang menurutnya akan membuka ruang fiskal dan logistik lebih luas, sekaligus mengundang bantuan internasional jika diperlukan.
Namun, di balik dorongan tersebut, Burhan menyatakan bahwa FKML masih memberikan kesempatan kepada Presiden Prabowo dan kabinetnya untuk menunjukkan keseriusan dalam menangani bencana ini secara berkeadilan. Ia menekankan bahwa momentum tanggap darurat ini harus dimanfaatkan untuk menyusun langkah jangka panjang dalam upaya perlindungan hutan.
FKML juga mendesak diterapkannya moratorium total terhadap segala bentuk penebangan hutan, baik legal maupun ilegal di kawasan konservasi dan wilayah tangkapan air. Menurut Burhan, kondisi hutan saat ini sudah terlalu kritis, dan tanpa intervensi nyata dari pemerintah, krisis yang sama akan terus berulang.
“Siapa yang akan bertanggung jawab jika banjir kembali datang? Apakah pelaku illegal logging saja, atau pengelola taman nasional, atau semua pihak yang membiarkan ini terjadi selama bertahun-tahun?” ucapnya.
Sebagai penutup, ia mengajak seluruh lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk bersatu dalam menjaga kelestarian hutan. “Selamatkan hutan, lestarikan alam, dan sejahterakan masyarakatnya. Jika hutan rusak, maka manusia adalah korban pertama,” tegasnya.
Laporan : Salihab Beruh







































