KUTACANE | Redaksi menerima laporan terbaru dari Kabupaten Aceh Tenggara terkait dampak banjir bandang yang menerjang wilayah tersebut pada Kamis (27/11/2025). Peristiwa bencana alam yang terjadi menjelang akhir November lalu tidak hanya menyisakan kerusakan material dalam skala besar, tetapi juga duka mendalam bagi masyarakat. Sebanyak 15 warga dilaporkan meninggal dunia dan satu orang lainnya masih dalam pencarian setelah terseret arus banjir.
Kerusakan yang ditimbulkan akibat banjir bandang meliputi berbagai fasilitas umum dan infrastruktur dasar, mulai dari jembatan rangka baja, jalan nasional, hingga masjid dan rumah warga. Selain merusak fisik bangunan dan memutus konektivitas antarwilayah, bencana ini juga menyebabkan isolasi warga selama lebih dari dua pekan. Kecamatan Ketambe disebut sebagai wilayah terdampak paling parah, dengan jalur utama penghubung Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues sempat terputus total. Masyarakat di daerah Rumah Bundar, Ketambe, serta kawasan perbatasan Gayo Lues terdampak langsung akibat terputusnya akses vital ini selama setidaknya 21 hari.
Menghadapi situasi tersebut, pemerintah diminta untuk mempercepat masa transisi pemulihan di wilayah Aceh Tenggara. Tokoh masyarakat sekaligus pengamat kebijakan publik asal Aceh Tenggara, Dr Nasrul Zaman, dalam pernyataannya pada Jumat (19/12/2025), menyampaikan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU), Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (Kemen PKP), Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Aceh, serta Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I dinilai perlu bergerak lebih cepat dan terstruktur dalam rangka penanganan pascabencana. Nasrul menekankan bahwa fokus utama selama 90 hari ke depan harus diarahkan pada perbaikan infrastruktur dasar dan pembangunan hunian bagi korban terdampak, di samping penanganan lingkungan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Banjir bandang tidak hanya menggerus tebing sungai, tetapi juga membawa material kayu gelondongan dan bebatuan besar yang kini menumpuk di pemukiman penduduk dan sungai Alas. Aliran sungai yang terganggu dikhawatirkan dapat memperbesar risiko bencana susulan jika tidak segera dibersihkan dan dinormalisasi. Oleh karena itu, optimalisasi alat berat menjadi hal krusial untuk menangani dampak lanjutan bencana serta mengembalikan fungsi kawasan secara bertahap.
Laporan sementara menyebutkan bahwa sejumlah jembatan di Aceh Tenggara mengalami kerusakan parah. Jembatan Salim Pipit, Jembatan Natam, dan Jembatan Mbarung dilaporkan dalam kondisi rusak berat, sementara Jembatan Silayakh nyaris terputus. Dari keempat jembatan tersebut, baru Jembatan Silayakh yang kini dapat dilalui kendaraan roda empat setelah bagian opritnya selesai diperbaiki. Di sisi lain, Jembatan Salim Pipit dan Mbarung baru bisa dilintasi kendaraan roda dua dan roda tiga melalui jembatan alternatif yang dibangun sementara.
Sebagai pengganti jalur utama yang rusak, saat ini telah tersedia jalur alternatif yang memungkinkan kendaraan roda empat melintas menuju Rumah Bundar di Kecamatan Ketambe hingga ke Perbatasan Gayo Lues. Kendati demikian, keandalan jalur ini masih bersifat sementara dan membutuhkan peningkatan struktur serta pengawasan secara berkala untuk menjamin keamanan pengguna jalan.
Dr Nasrul menambahkan bahwa program hunian tetap bagi korban terdampak juga harus segera disusun. Sejumlah rumah warga di Desa Bener Bepapah dan wilayah sekitarnya hancur total diterjang banjir bandang. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, serta membutuhkan intervensi negara dalam bentuk program hunian sementara dan pembangunan kembali rumah terdampak.
Dorongan percepatan pemulihan juga disampaikan sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam menjamin hak dasar warga atas tempat tinggal yang layak, akses terhadap fasilitas umum, serta keamanan dalam aktivitas sehari-hari. Koordinasi lintas kementerian dinilai penting, terutama antara Kemen PU, Kemen PKP, BPJN Aceh, dan BWS Sumatera I, agar pelaksanaan penanganan dapat berjalan sistematis dan adaptif dengan kondisi geografis serta tantangan teknis di lapangan.
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh Tenggara akan menjadi tolok ukur kesiapsiagaan dan respons pemerintah dalam menghadapi bencana alam di wilayah rentan. Upaya berkelanjutan akan sangat dibutuhkan, baik dari segi teknis pembangunan maupun pendampingan sosial kepada masyarakat terdampak. Di tengah tantangan cuaca dan kondisi alam yang tidak dapat diprediksi, penanganan bencana secara terukur dan tanggap menjadi kunci agar pengalaman pahit ini tidak terulang dalam skala yang lebih besar di masa mendatang.
Laporan : Salihan Beruh







































