PRINGSEWU—WaspadaIndonesia.com
Hanya dalam hitungan hari, panggung birokrasi di “Kota Bambu Seribu” Pringsewu tiba-tiba menyala benderang. Respons kilat ini terjadi bukan karena kesadaran permanen akan pelayanan publik, melainkan berkat sorotan publik yang, seperti biasa, datang terlambat namun sukses menusuk tepat ke jantung masalah: enam Puskesmas dibiarkan berjalan tanpa nakhoda resmi.
Enam Puskesmas—garis depan pertahanan kesehatan masyarakat Pringsewu—telah lama terombang-ambing, seolah sengaja diuji seberapa lama mereka bisa bertahan tanpa kepemimpinan yang definitif. Namun, “kelalaian” krusial ini segera “dicuci bersih” oleh gerakan cepat yang patut diabadikan dalam buku rekor: seketika publik mulai bersuara, roda birokrasi langsung berputar bak kesetanan.
Jumat, 24 Oktober 2025, menjadi hari perayaan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang beruntung. Bupati Pringsewu, Riyanto Pamungkas, menggelar upacara pelantikan yang melibatkan total 19 pejabat—sebuah “paket komplit” yang mencakup administrator, pengawas, dan, tentu saja, para pejabat fungsional rumpun kesehatan yang baru saja dianugerahi tugas tambahan sebagai Kepala UPTD Puskesmas. Langkah ini, di mata publik, adalah contoh cemerlang “efisiensi terpaksa” yang hanya aktif saat panik.
Pelantikan massal ini, yang terjadi secepat kilat setelah isu mencuat, menimbulkan pertanyaan klasik yang menggantung di udara lembap birokrasi: Mengapa harus menunggu sorotan? Di tengah gegap gempita 19 jabatan yang terisi, termasuk enam kursi panas Puskesmas yang mendadak penuh, terselip ironi yang menusuk: Seolah-olah kesehatan masyarakat hanya menjadi prioritas di kalender jika sudah disematkan bintang merah oleh media dan warga.
Jika prosedur birokrasi dapat bergerak secepat ini untuk meredam kegaduhan, lantas, apa yang selama ini menahan laju penetapan pimpinan Puskesmas? Apakah kursi-kursi vital tersebut sengaja dibiarkan dingin, menanti tanggal yang “cantik”, atau memang prosedur penetapan pejabat fungsional memerlukan energi dan waktu yang setara dengan pembangunan jalan tol?
Kritik Publik: Apresiasi Cepat, Pertanyaan Etika
Publik, yang cerdas dan kritis, tidak hanya ingin melihat drama pelantikan yang megah. Mereka menuntut penjelasan yang setara dengan kecepatan respons yang ditunjukkan: apakah ini adalah penyelesaian masalah kesehatan yang sesungguhnya, atau hanya “pemadam kebakaran” politik untuk meredakan panasnya kritik?
Ketua Asosiasi Wartawan Internasional (ASWIN) DPC Pringsewu, Hayat, menangkap ironi yang sama.
“Kami sangat mengapresiasi keputusan Bupati yang cepat dan tanggap,” ujar Hayat,
“namun pertanyaannya, mengapa keputusan ini harus menunggu sorotan publik dan kegaduhan terlebih dahulu? Ini membuktikan bahwa kebijakan publik berjalan di bawah bayang-bayang ancaman, bukan di bawah bendera kesadaran,” tegas Hayat, Senin 27 Oktobee 2025
Pelantikan tersebut secara faktual telah memenuhi unsur kepemimpinan, namun secara etika, ia mencerminkan prioritas yang dipertanyakan. “Kota Bambu Seribu”—sebutan yang indah untuk Pringsewu—kini memiliki enam Puskesmas yang kembali memiliki boss. Sebuah kelegaan yang seharusnya tidak perlu dirayakan, sebab mengisi kekosongan pimpinan adalah kewajiban mendasar, bukan prestasi heroik.
Dunia kesehatan, yang seyogianya steril dari intrik administrasi yang berlarut, terpaksa menjadi panggung tontonan. Proses pengisian jabatan fungsional dengan tugas tambahan sebagai Kepala UPTD Puskesmas, memberikan sedikit kelegaan semu. Langkah ini, meski legal, seringkali dikritik sebagai solusi “setengah hati” birokrasi, namun dianggap terlalu mahal jika harus dibayar dengan terganggunya pelayanan selama berbulan-bulan.
Dalam sambutannya, Bupati menegaskan pentingnya “super team” di lingkungan Pemkab. Sebuah super team yang luar biasa, yang secara ajaib, baru bisa terbentuk dan bekerja optimal setelah ada deadline dari ancaman sorotan publik. Pelantikan pada hari Jumat itu seakan mengirim pesan tersirat: Di Pringsewu, kebijakan publik berjalan di bawah bayang-bayang sorotan, bukan di bawah bendera kesadaran dan kepekaan abadi.
Tantangan Sesungguhnya Baru Dimulai
Maka, tamatlah drama kursi kosong di enam Puskesmas. Namun, tantangan sesungguhnya baru dimulai.
Kini, bola panas itu berada di tangan para pejabat yang baru dilantik. Waktu akan membuktikan, apakah “kecepatan” respons Pemkab ini akan ditindaklanjuti dengan “kualitas” pelayanan yang berkesinambungan di enam Puskesmas tersebut. Jika tidak, maka “Kota Bambu Seribu” hanya akan dikenang sebagai tempat di mana timing birokrasi jauh lebih penting daripada timing denyut nadi kesehatan warganya.
(Hayat)





































