KUTACANE, WASPADA INDONESIA — Praktik pengutipan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) oleh pihak SMA Perisai di Kabupaten Aceh Tenggara dipertanyakan oleh kalangan masyarakat sipil. Dana yang dikutip sebesar Rp50.000 per siswa setiap bulan itu dinilai tidak jelas dasar hukumnya dan tidak didukung oleh prosedur tata kelola anggaran yang semestinya berlaku di lembaga pendidikan negeri.
Kritik datang dari lembaga swadaya masyarakat yang selama ini berfokus pada pengawasan sektor pelayanan publik dan pendidikan. Mereka mencurigai bahwa pengutipan tersebut tidak memiliki legalitas yang kuat karena belum disertai dengan dokumen perencanaan anggaran seperti Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang menjadi dasar penyusunan belanja satuan pendidikan.
“SPP yang dipungut dari siswa tampaknya dilakukan tanpa landasan administrasi dan regulasi yang sah. Jika ini benar, maka berpotensi menyalahi ketentuan tata kelola pendidikan dan bisa dikategorikan sebagai pungutan liar,” ujar Ketua DPD lembaga tersebut ketika ditemui di Kutacane, Selasa (4/11/2025).
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, disebutkan bahwa dana yang dihimpun dari masyarakat oleh sekolah harus bersifat sumbangan sukarela, tidak mengikat, dan tidak boleh menjadi syarat mutlak bagi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, keterlibatan wali murid melalui forum rapat bersama komite sekolah menjadi syarat mutlak agar sumbangan dapat dikategorikan sah.
Namun, berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh lembaga pengawas tersebut, forum musyawarah antara sekolah dan wali murid yang dijadikan dasar pengutipan SPP dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diperoleh informasi bahwa pertemuan dilakukan tanpa menghadirkan mayoritas wali murid dan tidak dibarengi dengan dokumentasi resmi seperti notulen, berita acara, atau daftar hadir yang menjadi bukti sah kesepakatan bersama.
“Kalau tidak ada kesepakatan tertulis antara pihak sekolah dan wali siswa yang mewakili minimal 50 persen orang tua murid, apapun bentuk pengutipannya menjadi tidak sah secara norma pendidikan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala SMA Perisai, Nyak Lamidin, ketika dikonfirmasi membenarkan bahwa memang ada pengutipan SPP sebesar Rp50.000 per bulan yang diberlakukan untuk seluruh siswa. Menurut dia, kebijakan ini telah dibahas bersama komite sekolah dan sebagian wali murid. Namun, saat dimintai dokumentasi resmi yang mendukung keputusan tersebut, pihak sekolah belum dapat memperlihatkannya.
“Kami berencana akan menyusun dokumentasinya lebih rinci. Tapi ini memang hasil musyawarah bersama komite,” kata Lamidin singkat.

Selain legalitas pengutipan, pihak pengkritik juga menyoroti transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana SPP yang telah dikumpulkan. Hingga saat ini, menurut sejumlah orang tua siswa, belum ada pemaparan atau laporan tahunan dari pihak sekolah terkait penggunaan dana tersebut secara rinci.
“Orang tua siswa tidak pernah dilibatkan dalam proses evaluasi penggunaan dana. Tak ada papan informasi atau laporan akhir tahun. Padahal kami sudah membayar secara rutin,” ujar salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Ia mengatakan, sebagian besar orang tua siswa membayar karena khawatir jika tidak membayar akan berpengaruh terhadap proses belajar anak mereka di sekolah. Kekhawatiran ini muncul karena ketiadaan kejelasan status pengutipan: apakah sukarela atau wajib, apakah berdasar peraturan atau hanya kebijakan internal.
Ketua lembaga masyarakat yang menyoroti ini mengingatkan bahwa setiap dana publik, termasuk dana sumbangan pendidikan, wajib dikelola sesuai prinsip transparansi dan pertanggungjawaban. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Ia juga menambahkan bahwa keberadaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) seharusnya mampu mencukupi kebutuhan dasar pembiayaan operasional pendidikan. Jika kemudian sekolah merasa kekurangan dana, pengajuan bantuan seharusnya melewati mekanisme usulan dan konsultasi kepada pihak dinas pendidikan daerah, bukan dengan langsung memungut iuran dari siswa secara rutin.
“Yang kami khawatirkan, pengutipan SPP ini berlangsung tanpa pengawasan, tak memiliki batas yang jelas, dan rentan disalahgunakan. Dunia pendidikan tidak boleh dijadikan alat untuk memperkaya kelompok atau oknum tertentu,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara untuk segera melakukan klarifikasi dan pemeriksaan menyeluruh terhadap kebijakan ini. Ia juga meminta agar lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan inspektorat wilayah dilibatkan dalam proses pengawasan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Dinas Pendidikan Aceh mengenai pengutipan SPP oleh SMA Perisai. Namun desakan publik agar kasus ini ditangani dengan serius terus menguat.
Pendidikan merupakan layanan dasar yang wajib diberikan negara kepada warganya secara adil dan merata. Dalam konteks pengelolaan dana pendidikan, pemerintahan daerah maupun pengelola sekolah dituntut untuk mematuhi seluruh regulasi, menjaga transparansi, dan menjamin agar tidak ada praktik pungutan yang dapat membebani maupun mendiskriminasi hak siswa dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.
Laporan : Salihan Beruh







































