Aceh Tenggara , (03/1-/2025) Musyawarah desa yang digelar di Desa Lawe Stul, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, berakhir tanpa hasil. Warga pulang dengan tangan hampa, kecewa karena forum yang seharusnya menjadi tempat penyampaian aspirasi justru berubah menjadi ajang pembelaan diri aparat desa. Tak ada keputusan, tak ada solusi. Yang tersisa hanyalah kemarahan dan ketidakpercayaan.
Sejak awal, forum tersebut sudah berjalan tidak ideal. Agenda penting seperti transparansi dana desa, rencana pembangunan infrastruktur dasar, hingga keluhan tentang ketidakadilan dalam distribusi bantuan sosial hanya disentuh di permukaan. Beberapa perangkat desa memilih bicara dengan bahasa aman, berputar-putar, tanpa memberikan klarifikasi yang tegas.
Pertanyaan tajam dari warga kerap dibalas dengan jawaban normatif. Ketika tokoh pemuda menyuarakan dugaan ketidakterbukaan dalam penggunaan dana desa, tanggapan yang diberikan hanya berupa janji akan “ditindaklanjuti”. Tak ada angka, tak ada data, hanya kalimat pengalihan. “Kami diminta bicara, tapi apa gunanya kalau pendapat kami tak digubris?” ujar seorang warga yang hadir dalam forum, dengan nada kesal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Musyawarah ini seharusnya menjadi sarana kontrol publik terhadap kinerja pemerintah desa. Namun yang terjadi justru sebaliknya: warga merasa dikontrol, dibatasi dalam mengungkapkan keluhan. Beberapa warga bahkan mengaku diminta “meredam suasana” agar forum tidak ricuh, padahal yang mereka suarakan adalah hak dasar: hak untuk tahu dan hak untuk didengar.
Kondisi ini memperlihatkan kebekuan komunikasi antara dua kutub utama di desa: rakyat dan penguasa lokal. Musyawarah desa yang mestinya menjadi jantung partisipasi demokratis berubah menjadi formalitas tahunan. Panggung birokrasi yang sekadar menggugurkan kewajiban.
Tidak ada iktikad baik dari pihak aparat desa untuk membuka pintu transparansi. Sikap defensif menjadi tembok besar yang memisahkan warga dari proses pengambilan keputusan. Kepercayaan pun kian tergerus. Warga mulai meragukan niat baik pemerintah desa yang sebelumnya mereka beri mandat untuk mengelola anggaran dan menjalankan roda pemerintahan.
Persoalan kian pelik ketika dugaan ketimpangan dalam alokasi bantuan untuk kelompok masyarakat tertentu juga mencuat. Namun lagi-lagi, tak ada penyelidikan lebih dalam, hanya pembelaan dan janji evaluasi. Dalam forum yang berlarut-larut tanpa ujung ini, solusi seperti sengaja dihindari. Tak pelak, suasana memanas dan beberapa warga memilih meninggalkan ruangan sebelum musyawarah berakhir.
Apa yang terjadi di Lawe Stul hanyalah satu contoh dari banyak persoalan serupa di desa-desa lain. Ketika pemerintah desa mulai kikuk dalam menghadapi pertanyaan warga, dan lebih memilih bertahan dalam zona nyaman, maka wajar jika masyarakat mulai apatis. Demokrasi lokal yang stagnan sering kali lahir dari kepemimpinan yang enggan dikritik.
Masyarakat Desa Lawe Stul kini menunggu perbaikan, tapi mereka juga tak ingin terus menunggu dalam ketidakpastian. Jika aparatur desa tetap menutup mata dan telinga, bukan tidak mungkin kepercayaan yang telah lama dibangun akan benar-benar runtuh. Desa adalah milik bersama — dan saat suara rakyat tak lagi punya tempat, maka musyawarah hanya akan menjadi panggung kosong.
Laporan : Salihan Beruh







































