https://www.instagram.com/p/DPk_Am1j7_O/
BANDA ACEH — Sebuah video yang diunggah di media sosial TikTok memicu kontroversi nasional setelah seorang pria asal Aceh mengaku berpindah agama dari Islam ke Kristen dan menyampaikan pernyataan yang diduga menghina Nabi Muhammad dan para mualaf. Video tersebut mengundang reaksi luas, terutama dari kalangan tokoh keagamaan di Aceh, yang mengecam keras isi konten tersebut.
Video berdurasi singkat yang diunggah melalui akun TikTok @tersadarkan5758 itu hingga Kamis (9/10/2025) telah ditonton sebanyak 1,9 juta kali. Dalam video tersebut, pria itu menjelaskan alasannya keluar dari Islam, namun disampaikan dengan narasi yang diduga melecehkan simbol-simbol suci umat Islam. Video itu dengan cepat menyebar di media sosial, dan kolom komentarnya dibanjiri kecaman dari berbagai kalangan.
Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor Banda Aceh, Saiful Amri, menilai konten tersebut sebagai bentuk krisis moral dan pemahaman keagamaan yang semakin meresahkan. Ia menyebut, Aceh sebagai daerah yang menerapkan Syariat Islam seharusnya tidak menjadi tempat lahirnya narasi-narasi kebencian terhadap agama.
“Fenomena ini sangat memprihatinkan. Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, tapi justru dari sini muncul konten yang menistakan agama dan mempermainkan simbol-simbol keislaman. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga cermin krisis moral dan pemahaman agama yang serius,” ujar Saiful dalam keterangan tertulis.
Ia menilai bahwa kebebasan berekspresi di ruang digital saat ini sering kali disalahartikan, sehingga melahirkan konten-konten yang melanggar nilai-nilai keberagaman dan etika bermedia. Menurutnya, tindakan pelaku bukan saja bertentangan dengan norma sosial dan hukum, tetapi juga bisa memicu perpecahan di tengah masyarakat.
“Kami mendukung kebebasan berpendapat, tapi bukan kebebasan untuk menghina agama. Jika dibiarkan, hal seperti ini akan menciptakan efek domino. Generasi muda bisa melihat ini sebagai hal normal untuk memperolok sesuatu yang sakral,” ucapnya.
GP Ansor mendesak aparat kepolisian, khususnya Polda Aceh, agar segera melakukan penelusuran dan proses hukum terhadap kasus tersebut. Penegakan hukum yang tegas, menurut Saiful, sangat dibutuhkan untuk memberikan efek jera dan menjadi pelajaran bagi pengguna media sosial lainnya.
“Kami minta Polda Aceh bertindak cepat. Jangan sampai keresahan masyarakat semakin meluas. Penegakan hukum yang tegas akan menjadi pembelajaran dan efek jera bagi siapa pun yang mencoba menistakan agama,” kata Saiful.
Meski begitu, ia meminta masyarakat tetap menjaga ketenangan dan tidak terpancing provokasi. Menurutnya, tindakan main hakim sendiri sangat berbahaya dan bisa memperluas dampak negatif dari isu yang ada. Ia juga mengajak masyarakat untuk memperkuat literasi digital dan memperdalam pemahaman agama yang moderat dan inklusif.
“Kita harus introspeksi. Mengapa dari Aceh, yang dikenal dengan Syariat Islam-nya, bisa muncul konten seperti ini? Ini sinyal bahwa kita perlu memperkuat pendidikan agama dan karakter, terutama di kalangan anak muda,” ujarnya.
Hingga saat ini, pihak Kepolisian Daerah Aceh belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait perkembangan kasus tersebut. Namun, sejumlah laporan masyarakat dipastikan telah masuk dan sedang diproses.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa ruang digital saat ini tak hanya menjadi tempat berinteraksi, tetapi juga ruang pembentukan opini publik yang dapat berdampak luas. Literasi digital yang rendah dan pemahaman agama yang sempit dapat melahirkan konten-konten yang merusak sendi-sendi kebersamaan dan toleransi.





































