Subulussalam – Seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi pratama (JPTP) di Pemerintah Kota Subulussalam 2025 memantik riuh kritik. Mekanisme yang seharusnya menjunjung transparansi dan meritokrasi justru dipandang sebagian pihak sebagai ajang tarik-menarik kepentingan politik. Dari puluhan posisi yang masih kosong, hanya enam Satuan Kerja Perangkat Kota (SKPK) yang dibuka untuk seleksi. Keputusan ini memunculkan tudingan pemborosan anggaran sekaligus praktik politik balas budi.
Seorang sumber dari lingkaran pejabat kota menilai langkah ini tidak masuk akal. Menurutnya, bila pemerintah kota benar-benar ingin efisiensi, seleksi seharusnya digelar serentak untuk seluruh jabatan yang kosong. “Ini hanya permainan suka atau tidak suka. Kepentingan politik balas budi lebih dominan daripada kebutuhan daerah,” ujarnya.
Enam posisi yang diperebutkan adalah pimpinan di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampong, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, Inspektorat, serta Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata. Rano Saraan, Kepala BKPSDM Kota Subulussalam, ketika dimintai tanggapan atas dugaan rekayasa dalam proses seleksi memilih bungkam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di kalangan Aparatur Sipil Negara sendiri, sinisme tumbuh. Seleksi terbuka disebut hanya formalitas: panitia memang melibatkan akademisi dan lembaga independen, namun keputusan akhir tetap di tangan wali kota. “Kalau hanya formalitas, ASN jadi ragu apakah harus profesional mengejar prestasi atau justru fokus membangun kedekatan politik,” kata seorang ASN yang meminta namanya disamarkan.
Pengamat politik lokal menegaskan, open bidding di kota kecil seperti Subulussalam tidak bisa dilepaskan dari pusaran politik domestik. Hubungan eksekutif, legislatif, dan elite lokal kerap menjadi penentu siapa yang akan duduk di kursi strategis. “Seleksi terbuka jabatan adalah arena di mana kepentingan politik, birokrasi, dan ekonomi lokal bertemu. Tanpa pengelolaan transparan, ia berubah menjadi alat penguasa untuk mengamankan loyalis,” kata seorang akademisi dari salah satu universitas di Aceh.
Tekanan publik agar proses ini benar-benar terbuka semakin besar. Masyarakat sipil dan media lokal menuntut publikasi daftar peserta beserta nilai uji kompetensi, pengawasan lembaga independen, dan jaminan bahwa hasil akhir tak bisa dipolitisasi.
Ujian serius kini dihadapi Pemerintah Kota Subulussalam. Reformasi birokrasi hanya akan bermakna bila proses seleksi bersih dari intervensi elite politik. Jika kembali dinodai kepentingan balas budi, kepercayaan publik pada birokrasi kota yang masih belia ini berpotensi kian merosot. @ntoni tin