KUTACANE – Bau amis korupsi kembali menguar dari proyek infrastruktur di Aceh Tenggara. Kali ini, pembangunan pengendalian banjir dan perkuatan tebing Sungai Lawe Alas di Desa Natam Baru, Kecamatan Badar, menjadi sorotan tajam setelah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) mengungkap dugaan penyimpangan serius. Proyek bernomor kontrak PB 02 01-Bws1.7.1/455, berbiaya Rp6.977.746.000 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dituding bermasalah dalam pelaksanaan teknis dan pengawasan.
Proyek yang dikerjakan oleh CV. ALFATIR selaku kontraktor pelaksana dan CV. Centriva Engineering sebagai konsultan supervisi ini menjadi pusat kritik dan kecaman publik setelah Bupati LIRA Aceh Tenggara, Fazriansyah, menyampaikan bahwa pihaknya memiliki rekaman video serta dokumentasi visual proyek yang mengarah pada dugaan kuat pengurangan volume pekerjaan—terutama di bagian struktur pondasi dan pemasangan bronjong.
Pernyataan Fazriansyah ini tidak berdiri sendiri. Berdasarkan analisis foto-foto kegiatan proyek yang diperoleh dari lapangan, sejumlah kejanggalan teknis makin menguatkan dugaan tersebut. Di antaranya adalah kondisi area pondasi yang tampak dangkal serta tumpukan batu bronjong yang tidak mencerminkan kapasitas perkuatan yang semestinya sesuai dengan spesifikasi proyek senilai hampir tujuh miliar rupiah. Dalam beberapa tangkapan gambar, terlihat pekerja sedang memasang kawat bronjong secara manual tanpa didampingi tim teknis profesional, sementara alat berat melakukan pengurukan tanah di lokasi yang secara visual tampak belum mengalami pemadatan yang layak.
Selain itu, sangat mencurigakan bahwa papan proyek yang menjadi bagian dari transparansi wajib publik—sebagaimana terlihat dalam beberapa gambar—berdiri di lokasi dengan posisi miring dan tidak dilindungi, bahkan tergantung baju bekas yang memberikan kesan pelaksanaan proyek ini dilakukan tanpa memperhatikan kaidah keselamatan kerja maupun standar kualitas proyek APBN. Hal ini janggal mengingat proyek ini dijadwalkan berlangsung selama 210 hari kalender, namun seperti dalam dokumentasi foto yang menunjukkan tanggal 8 Juli 2025, pekerjaan terlihat masih dalam tahapan awal padahal seharusnya sudah mendekati penyelesaian.
Lebih jauh, dalam salah satu gambar tampak secara jelas dinding bronjong yang disusun bukan di atas pondasi beton bertulang melainkan langsung di atas urukan batu kali. Praktik semacam ini sangat membahayakan ketahanan konstruksi dalam jangka panjang, terlebih fungsi utama dari proyek ini adalah menahan erosi sungai dan mengendalikan arus banjir. Ketidakhadiran pengawasan lapangan secara ketat dari konsultan supervisi makin membuka ruang spekulasi bahwa proyek ini diduga telah masuk ke dalam praktik “main mata”.
LIRA menilai bahwa pelaksanaan pekerjaan tidak menunjukkan kehati-hatian dan profesionalitas yang layak bagi proyek sekelas infrastuktur pengendalian bencana. Menurut Fazriansyah, kondisi ini berisiko tinggi menimbulkan kerugian besar pada negara, dan efek domino terhadap masyarakat jika infrastruktur ini gagal berfungsi saat debit air sungai meningkat.
Hingga kini, CV. ALFATIR sebagai kontraktor maupun pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera I Aceh belum memberikan keterangan resmi. Publik pun makin geram karena proyek yang dibiayai penuh dari anggaran negara melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tidak menunjukkan kualitas dan transparansi yang layak. Lebih dari itu, keberadaan konsultan pengawas yang tertera dalam papan proyek seolah hanya formalitas, sebab secara faktual tidak terlihat kehadiran pengawasan aktif selama proses pembangunan.
LIRA menuntut agar aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan dan Kepolisian, segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap proyek ini. Juga diminta agar BPK, BPKP, dan Tim Auditor Inspektorat membuka audit teknis independen berdasarkan bukti dokumentasi visual serta video dari lapangan. Ini bukan hanya soal angka volume, melainkan soal keselamatan warga yang hidup berdampingan langsung dengan bahaya abrasi tebing Sungai Lawe Alas.
Skandal ini, bila terus diabaikan, akan menjadi preseden buruk dalam pola pembangunan daerah yang terus dibayangi oleh mafia proyek. Ketika uang negara yang seharusnya membawa perlindungan dan kesejahteraan justru dikompromikan dengan permainan kotor, maka pembangunan tidak akan pernah menyentuh akar permasalahan. Lebih dari itu, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi publik yang semestinya menjadi penjaga integritas dan keselamatan mereka.
Kini, publik menanti: apakah penegak hukum nasional akan menggali bukti dan menyeret pihak-pihak yang bermain di balik kerikil proyek setinggi miliaran ini ke meja hijau, atau proyek ini akan kembali mengering seperti tembok bronjong yang dibangun tanpa jiwa dan arah. Jangan biarkan Sungai Lawe Alas menjadi saksi bisu dari hancurnya etika pembangunan di negeri ini.
Laporan : Salihan Beruh