KUTACANE ,WASPADA INDONESIA | Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bersatu menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRK Aceh Tenggara, Kamis (4/9/2025). Aksi ini menjadi wadah penyampaian aspirasi atas berbagai persoalan yang dinilai mengancam demokrasi dan hak-hak warga negara. Para mahasiswa menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, serta mendesak Presiden dan Kapolri bertanggung jawab atas tindakan represif aparat terhadap masyarakat sipil.
Aksi dimulai dengan longmarch dari Stadion H. Syahadat menuju Gedung DPRK. Sepanjang jalan, massa membawa poster, spanduk, dan meneriakkan yel-yel yang menggambarkan kekecewaan sekaligus perlawanan terhadap praktik yang mereka sebut menindas rakyat. Setibanya di gedung dewan, massa sempat disambut oleh Ketua DPRK bersama sejumlah anggota legislatif yang membawa parsel berisi semangka dan air mineral. Namun, simbol keramahan itu ditolak oleh mahasiswa yang memilih tetap fokus menyampaikan tuntutan.
Dalam orasinya, penanggung jawab aksi, Eko Widyanto, menegaskan bahwa langkah turun ke jalan dilakukan karena maraknya praktik represif aparat yang terus berulang. Ia menilai pemerintah gagal melindungi hak dasar warga negara. “Kami mengecam keras tindakan represif yang terus dilakukan aparat. Mereka yang gugur dalam perjuangan menambah catatan hitam atas kegagalan negara melindungi hak paling dasar, yaitu hak hidup warga negara,” serunya di hadapan ratusan massa.
Aliansi Mahasiswa Bersatu merinci enam tuntutan utama. Pertama, mendesak DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Kedua, meminta pemerintah membebaskan seluruh aktivis dan demonstran yang ditahan karena menyuarakan pendapat. Ketiga, menuntut Presiden Prabowo Subianto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan praktik pemberangusan kebebasan sipil. Keempat, mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo mundur karena dinilai gagal mencegah tindakan represif aparat. Kelima, menolak pembahasan sejumlah RUU kontroversial seperti RUU Polri, RUU Penyiaran, dan RUU KUHP yang dianggap berpotensi membatasi demokrasi. Keenam, menolak kenaikan gaji serta tunjangan DPR RI, dengan usulan agar anggaran tambahan dialihkan pada program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Eko juga menuding pemerintah dan DPR tidak lagi konsisten dengan amanah konstitusi. Ia menyebut sumpah jabatan yang diucapkan para pejabat negara hanya menjadi formalitas tanpa bukti nyata. “Bobroknya pemerintahan ini jelas terlihat. Sumpah jabatan hanya tinggal sumpah palsu. Kami tidak akan diam ketika rakyat terus ditindas,” ucapnya lantang.
Aksi yang berlangsung dengan pengawalan ketat aparat kepolisian itu tetap berjalan damai. Ratusan mahasiswa memilih bertahan di depan Gedung DPRK Aceh Tenggara hingga mendapatkan respons resmi dari para wakil rakyat. Hingga malam hari, massa masih menggelar orasi dan membentangkan poster sebagai bentuk konsistensi perjuangan mereka.
Gelombang protes ini menambah catatan panjang dinamika hubungan antara mahasiswa, pemerintah, dan aparat keamanan. Tuntutan yang disuarakan tidak hanya berfokus pada isu lokal, melainkan juga menyinggung arah kebijakan nasional yang dinilai semakin jauh dari prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Aksi tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa di Aceh Tenggara ikut mengambil peran aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan serta menegaskan posisi mereka sebagai kelompok penekan yang kritis terhadap kebijakan negara.
Laporan : Salihan Beruh







































