Aceh Tenggara – Proyek pembangunan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) di Desa Kute Terutung Kute, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, yang bersumber dari Dana Desa tahap pertama tahun anggaran 2025 dengan total dana sebesar Rp60.595.000, menuai sorotan tajam dari masyarakat dan awak media. Proyek ini disebut sarat pelanggaran regulasi, manipulasi pelaksana, dan minim asas partisipasi.
Berdasarkan informasi resmi dari papan kegiatan yang terpasang di lokasi proyek, kegiatan pembangunan SPAL ini memiliki panjang 95 meter, dengan rincian biaya fisik sebesar Rp58.095.000 dan biaya operasional Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) sebesar Rp2.500.000. Sumber dana berasal dari Dana Desa (APBN), dan disebutkan bahwa pelaksana kegiatan adalah TPK Kute Terutung Kute, dengan waktu pelaksanaan selama 30 hari kalender.
Namun faktanya di lapangan berbeda. Dari hasil investigasi langsung, ditemukan bahwa TPK tidak dilibatkan dalam pekerjaan fisik. Proyek justru dikerjakan oleh warga luar desa, yakni dari Desa Kuta Ujung, bukan oleh masyarakat Desa Kute Terutung Kute sendiri. Tindakan ini jelas menyalahi prinsip padat karya tunai desa yang diatur dalam Permendesa PDTT Nomor 8 Tahun 2022, yang mewajibkan penggunaan tenaga kerja lokal dan pelibatan aktif masyarakat.
Tidak hanya itu, pengambilalihan wewenang pelaksanaan oleh kepala desa secara sepihak tanpa mekanisme musyawarah desa juga merupakan pelanggaran terhadap Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, khususnya Pasal 12 ayat (2), yang mewajibkan kepala desa membentuk TPK dan menyerahkan pelaksanaan kegiatan kepada tim tersebut. Jika benar TPK hanya dicantumkan di papan kegiatan tanpa peran nyata, maka ini berpotensi menjadi bentuk pemalsuan administrasi kegiatan.
Kondisi fisik SPAL pun dinilai jauh dari layak. Struktur sempit dan dangkal, terdapat genangan air, serta tidak menunjukkan adanya sambungan ke limbah rumah tangga, memperkuat dugaan bahwa proyek ini hanya dijalankan untuk memenuhi serapan anggaran, bukan berdasarkan kebutuhan dan kualitas. Saluran lama bahkan dibongkar untuk membangun ulang SPAL baru tanpa penjelasan urgensi yang jelas.
Ketika awak media mendatangi lokasi proyek untuk melakukan peliputan, suasana menjadi tegang. Seorang PNS berinisial BS, yang diketahui merupakan adik kandung kepala desa, tampak menunjukkan sikap tidak ramah terhadap kehadiran jurnalis. Ia bahkan menyebut agar tidak menyalahkan kepala desa dan menuduh laporan masyarakat bermuatan kebencian personal terhadap sang kades. Sikap ini bertentangan dengan semangat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan pejabat publik bersikap terbuka terhadap kontrol masyarakat.
Jika benar kepala desa melaksanakan proyek fisik tanpa melibatkan TPK dan masyarakat, serta menyajikan informasi pelaksana kegiatan yang tidak sesuai fakta lapangan, maka dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 26 ayat (4) huruf c dan d, yang mewajibkan kepala desa menjalankan asas transparansi, partisipatif, akuntabel, dan bertanggung jawab.
Masyarakat Desa Kute Terutung Kute berharap Inspektorat Kabupaten Aceh Tenggara dan Aparat Penegak Hukum (APH) segera melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan Dana Desa pada kegiatan ini. Papan kegiatan mungkin telah dipasang untuk formalitas, namun tanpa pengawasan dan pelibatan nyata dari warga, pembangunan hanya akan menjadi alat pencitraan dan potensi penyalahgunaan anggaran. (TIM)