Kutacane — Dugaan praktik korupsi membayangi pelaksanaan program kesejahteraan sosial di Kabupaten Aceh Tenggara. Anggaran negara yang semestinya menjadi penyokong harapan bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan, justru diduga dijadikan “ladang basah” oleh oknum tak bertanggung jawab di lingkup Dinas Sosial (Dinsos) Aceh Tenggara tahun anggaran 2024.
Kasus bermula dari pengadaan kursi roda untuk penyandang disabilitas yang diduga kuat mengalami mark up harga secara terstruktur dan sistematis. Praktik curang ini diduga dirancang dengan memastikan penunjukan langsung kepada satu rekanan tanpa melalui proses lelang terbuka sebagaimana seharusnya. Meski menggunakan sistem e-katalog, proses yang semestinya menghadirkan transparansi dan efisiensi justru dinilai telah diarahkan untuk berpihak pada satu pihak tertentu guna memuluskan harga yang sudah dinaikkan sebelumnya.
Beberapa sumber menyampaikan bahwa mekanisme ini tak lagi semata sebagai pelanggaran administratif, namun telah mengarah pada bentuk pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kursi roda yang semestinya dibeli menggunakan harga wajar dan disalurkan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan, justru menjadi “alat tukar” dalam praktik penyimpangan anggaran.
Permasalahan tidak berhenti pada pengadaan kursi roda. Data penggunaan anggaran pada program-program kesejahteraan dasar lainnya juga menunjukkan ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi. Dalam program Rehabilitasi Sosial Dasar yang mencakup bantuan untuk lansia terlantar, anak terlantar, penyandang disabilitas, anak jalanan, dan pengemis, dialokasikan anggaran sebesar sekitar Rp 2,6 miliar setelah perubahan. Namun hingga akhir pelaksanaan, hanya sekitar Rp 1,97 miliar yang terealisasi. Artinya, ratusan juta rupiah dari dana ini tidak digunakan sebagaimana mestinya atau belum jelas ke mana penggunaannya.
Hal yang sama terjadi pada program Permakanan, yang semestinya menjangkau kelompok miskin dan lansia yang terlantar. Dari anggaran Rp 1,5 miliar, realisasi tercatat hanya sekitar Rp 923 juta. Demikian pula bantuan sandang dan pangan menunjukkan selisih pencairan yang dinilai janggal. Jika dihitung secara keseluruhan, jumlah dana publik dari beberapa alokasi anggaran tersebut yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara jelas mencapai lebih dari Rp 1,3 miliar.
Kondisi ini memicu keprihatinan publik. Di tengah tekanan ekonomi dan ketimpangan akses bantuan sosial, kabar mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran bantuan untuk kelompok paling rentan membuka luka sosial yang dalam. Masyarakat mempertanyakan ke mana dana yang seharusnya menjamin hak hidup yang layak bagi penyandang disabilitas, anak-anak terlantar, serta para lansia tersebut.
Sejumlah individu dan kelompok di Aceh Tenggara mendorong agar Aparat Penegak Hukum—baik Kejaksaan maupun Kepolisian—tidak menunggu aduan formal untuk turun langsung membuka penyelidikan terhadap mekanisme penggunaan anggaran di Dinas Sosial. Ditegaskan bahwa kasus ini sangat mendesak untuk diungkap demi keadilan bagi mereka yang selama ini tidak bersuara dan nyaris tak diperhatikan.
Langkah hukum diperlukan tidak hanya untuk memberi sanksi kepada pelaku langsung, namun juga untuk membongkar jaringan yang diduga mengatur pengadaan barang dan pencairan anggaran di balik sistem birokrasi. Instrumen pemberantasan korupsi diharapkan mampu menjangkau hingga ke level pengambilan keputusan agar praktik serupa tidak terus berulang dalam senyap.
Hingga berita ini ditulis, Kepala Dinas Sosial Aceh Tenggara, Bahagia Wati, S.Pd., M.A.P., belum memberikan tanggapan resmi atas dugaan ini. Upaya konfirmasi terus dilakukan agar publik mendapatkan kejelasan dan pertanggungjawaban langsung dari pihak terkait.
Kasus ini menjadi ujian bagi integritas pelayanan publik di bidang sosial. Penanganan yang tegas diharapkan tidak hanya memperbaiki sistem, tetapi juga memulihkan kepercayaan masyarakat bahwa negara masih berpihak pada mereka yang paling membutuhkan. (TIM)







































