KUTACANE — Dugaan keterlibatan Camat Lawe Alas dalam pusaran gelap upeti dana pemberantasan narkoba desa menyeruak semakin kuat, menyeret aroma busuk praktik kekuasaan yang bermain di atas program anti-narkoba. Fakta baru kembali terungkap: sebuah pesan singkat yang diduga dikirim langsung oleh Camat Lawe Alas, Salamudin, kepada Ketua DPD LSM Penjara Provinsi Aceh, Pajri Gegoh. Pesan itu sederhana, tetapi berbahaya maknanya. “Assalamualaikum coba kirim nomor rekening kamu ada sedikit rejeki,” bunyi teks dalam WhatsApp yang diterima Pajri. Kalimat yang di permukaan tampak biasa itu sontak memicu dugaan adanya transaksi terselubung yang berhubungan dengan dana desa untuk pemberantasan narkoba.
Pajri Gegoh tak segan menyebut pesan tersebut sebagai sinyal kuat keterlibatan sang camat dalam upeti dana desa yang nilainya disebut-sebut mencapai Rp6 juta per desa. “Kita mempertanyakan maksud permintaan nomor rekening pribadi itu. Dugaan kuat hal ini berkaitan dengan praktik upeti dana pemberantasan narkoba desa yang selama ini menjadi sorotan,” kata Pajri, Selasa 19 Agustus 2025. Menurutnya, praktik ini bukan sekadar rumor di warung kopi, melainkan sebuah skema terstruktur yang merampas hak dana desa yang semestinya dialokasikan untuk membentengi masyarakat dari ancaman narkoba.
Ironisnya, Camat Salamudin memilih bungkam. Saat dihubungi awak media untuk mengklarifikasi tudingan itu, baik melalui panggilan telepon maupun pesan WhatsApp, ia tidak memberikan jawaban. Diamnya sang camat justru menambah gelap kabut kecurigaan yang menyelimuti kasus ini. Publik kini menunggu, apakah aparat penegak hukum berani masuk membongkar jaringan upeti ini atau justru ikut larut dalam lingkaran senyap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dugaan praktik upeti dana pemberantasan narkoba desa di Aceh Tenggara sendiri bukan barang baru. Beberapa waktu lalu, LSM Penjara telah lebih dahulu mengungkapkan bahwa ada pungutan sebesar Rp6 juta yang dipatok dari setiap desa di Kecamatan Lawe Alas. Uang itu diklaim sebagai setoran yang akan diserahkan ke tingkat kabupaten. Sumber internal yang dipercaya di Kecamatan Lawe Alas juga menyebut pungutan itu memang nyata, bukan isapan jempol. Jika benar, maka ada indikasi pemerasan berjubah program pemberantasan narkoba, sebuah ironi telanjang di daerah yang justru tengah gencar mendeklarasikan perang melawan peredaran barang haram itu.
Kontrasnya amat menyakitkan. Di satu sisi pemerintah daerah berkampanye keras tentang bahaya narkoba, menggelar rapat koordinasi, membentuk tim hingga ke level desa. Namun di sisi lain, ada tangan-tangan yang justru diduga mencomot dana yang mestinya menjadi perisai masyarakat. Publik mencium bau busuk: program anti-narkoba tidak lebih dari ladang subur bagi oknum yang bernafsu meraup keuntungan pribadi.
Pajri Gegoh menegaskan, kasus ini tidak boleh berhenti di meja pemberitaan. “Kita mendesak aparat penegak hukum agar tidak menutup mata. Kalau dugaan ini benar, maka jelas ada praktik pungli dan penyalahgunaan jabatan yang harus diusut tuntas. Jangan biarkan dana desa dijadikan sapi perahan,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas bahwa bola panas sudah dilempar ke wilayah aparat hukum, yang kini diuji keberanian dan integritasnya.
Kabar tentang skandal ini pun telah bergulir cepat di tengah masyarakat Aceh Tenggara. Warung kopi, pasar, hingga forum-forum diskusi informal tak henti membicarakan nama Camat Lawe Alas. Publik bertanya-tanya, apakah pemerintah daerah benar-benar serius melawan narkoba, atau sekadar menggunakan isu itu sebagai topeng sementara uangnya dihisap oleh segelintir elit?
Sejarah panjang kasus dana desa di banyak daerah menunjukkan pola yang sama: jargon pemberdayaan, slogan pembangunan, atau komitmen pemberantasan narkoba kerap dipelintir menjadi dalih untuk memeras. Aceh Tenggara kini berada di titik rawan: kepercayaan masyarakat dapat runtuh bila dugaan ini tak segera diusut. Program yang semestinya menjadi benteng justru berubah menjadi lubang bocor yang mengalirkan uang ke kantong-kantong pribadi.
Hingga berita ini diterbitkan, Camat Lawe Alas, Salamudin, tetap memilih bungkam. Sikap diamnya semakin menegaskan gelapnya praktik kekuasaan di balik isu dana pemberantasan narkoba desa. Sementara publik menunggu, api kecurigaan terus membesar, membakar kepercayaan yang tersisa terhadap aparat kecamatan. Jika tidak segera diungkap, bukan hanya dana desa yang dikorbankan, melainkan juga harga diri masyarakat yang telah lama menaruh harapan pada jargon perang melawan narkoba.
(Laporan Salihan Beruh)