TANGGAMUS—Di Kabupaten Tanggamus, di mana alam masih menyimpan rona hijaunya, sebuah proyek APBD dengan nilai fantastis Rp 2,2 miliar sedang mempertontonkan sebuah masterpiece ironi. Proyek perkuatan tebing sungai di Pekon Gunung Kasih, Kecamatan Pugung, yang didanai dari kantong rakyat melalui APBD Provinsi 2025, tak hanya diduga sarat penyimpangan material, tetapi juga secara kasatmata mengabaikan “kemewahan” bernama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi para pekerjanya.
Seolah-olah anggaran dua koma dua miliar hanya cukup untuk membangun tembok beton, tetapi tidak mampu membeli helm dan rompi pelindung yang harganya mungkin tak sampai 0,001% dari nilai proyek.
*Tembok Ambisi dan Nafas Sungai yang Terampas*
Proyek yang dikerjakan oleh CV. Angkatan Sepuluh dengan waktu pengerjaan yang amat santai 120 hari kalender ini, secara heroik sedang memaksa sungai untuk “beradab” dengan memagarinya. Alih-alih mencari solusi ekologis yang ramah, yang tentu saja terlalu merepotkan, pilihan jatuh pada tembok kaku. Ini adalah tindakan elegan dalam merampas hak sungai untuk bernapas dan bergerak secara alami—demi sebuah janji palsu tentang pencegahan erosi.
*Menjual Nyawa Murah di Bawah Pengawasan Nol*
Pemandangan paling menggugah adalah para pekerja. Terpantau di lokasi, nampak jelas para punggawa proyek ini dengan gagah berani mempertaruhkan nyawa tanpa satu pun alat pelindung diri standar. Helm, rompi reflektor, sepatu pelindung? Barang-barang “primitif” itu seolah dianggap sebagai aksesori yang tidak perlu oleh kontraktor.
Ketika nilai proyek mencapai miliaran, keselamatan satu nyawa pekerja tampaknya dihargai lebih murah daripada satu karung semen. Ini adalah cara cerdas untuk menghemat anggaran—mengorbankan potensi cedera atau nyawa demi efisiensi keuntungan.
Ironisnya, di tengah tontonan kerja yang mengabaikan K3 ini, justru sosok-sosok penting yang seharusnya bertanggung jawab malah memilih untuk berlibur. Ketika pewarta turun gunung untuk meninjau lokasi, pelaksana dan pengawas pekerjaan sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Jum’at (21/11/2025)
”Yang punya pekerjaan orang Talang Padang, tapi orangnya tidak pernah turun ke lapangan,” ungkap salah satu pekerja.
Ini adalah manajemen proyek kelas dewa: menyerahkan pekerjaan vital bernilai miliaran sepenuhnya pada nasib dan tangan pekerja, tanpa perlu repot-repot melakukan pengawasan lapangan.
*Dugaan Penyimpangan: Semen Misterius dan Batu Putih Pilihan*
Kondisi proyek semakin “menarik” dengan munculnya bisikan-bisikan nakal tentang kualitas material. Pemasangan batu talud yang dilakukan di tengah genangan air, yang berisiko merusak kekuatan pondasi, tampaknya dianggap sebagai teknik konstruksi inovatif. Berhembus kabar bahwa semen yang digunakan bukanlah standar mutu, melainkan semen “misterius”, dan batu yang dipakai adalah batu putih yang diduga tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang seharusnya.
*Akuntabilitas yang Menguap dan “Apresiasi” dari Preman*
Ketika rantai pertanggungjawaban mulai dicari, yang muncul hanyalah lempar tanggung jawab yang apik. Kepala Pekon, yang rumahnya didatangi pewarta untuk dimintai keterangan, tidak banyak memberikan kontribusi informasi, melainkan hanya sebuah pengakuan pasif:
“Proyek ini dari gubernur, kita hanya mengusul aja untuk pembangunan penanggulangan sungai, itu pun sudah sering kita ajukan baru ini realisasi,” paparnya.
Singkat kata: “Kami hanya pengusul, bukan penanggung jawab.”
Namun, sesi wawancara yang santai itu mendadak mendapatkan “apresiasi” tak terduga. Di tengah perbincangan, muncul beberapa orang yang diduga preman, yang diklaim sebagai pengamanan proyek. Mereka tidak terima dengan kehadiran pewarta, lantas melontarkan ucapan dan gaya preman yang memancing dan mengintimidasi.
Luar biasa! Proyek ini bukan hanya minim pengawasan teknis dan kualitas, tetapi juga dilengkapi dengan ‘tim pengamanan’ yang siap menjamin ketidaktransparanan dengan cara-cara yang paling klasik dan mengancam. Jika pembangunan infrastruktur harus ‘diamankan’ dengan ancaman, ini bukan lagi proyek masyarakat, tapi proyek yang memiliki banyak hal untuk disembunyikan.
*Solusi atau Masalah Baru?*
Pada akhirnya, proyek perkuatan tebing di Gunung Kasih ini berdiri sebagai monumen yang mengingatkan kita: pembangunan yang sejati bukanlah sekadar membangun tembok, melainkan menjamin keseimbangan alam, menghormati hak pekerja, dan—terutama—menjaga transparansi anggaran.
Pertanyaan yang menggantung adalah: Apakah ini benar-benar solusi atas erosi, atau hanya masalah baru yang sengaja kita tanam dan biarkan tumbuh subur di bawah naungan anggaran daerah? Masyarakat Tanggamus layak mendapatkan jawaban, dan kemewahan transparansi yang telah mereka bayar mahal melalui pajak.
(Hayat)







































